One night stand ini film tentang mengobrol. Tentu saja isinya hanya obrolan, obrolan dan obrolan. Kalau kalian pecinta “trilogy before” dari Richard Linklater, kemungkinan bakal suka sama film ini.
Plot One Night Stand sesungguhnya sederhana. Film ini bercerita tentang pertemuan Ara dan Lea dan perjalanan mereka selama sehari yang kata Lea sebuah kebetulan. Hari itu Ara mesti menghadiri dua upacara yang berbeda, pemakaman dan pernikahan. Akhir dan awal. Menarik, bukan? Sayangnya, plot itu cuma pemanis. Seperti yang saya sebut sebelumnya, film ini tentang percakapan. Isinya dari awal sampai akhir berupa perbincangan tentang kehidupan dari sudut pandang dua orang yang semula asing.
Sebenarnya, pembukanya cukup menggelitik. Kutipan menarik yang bertutur: Bumi dipenuhi orang tersesat dan mereka bepergian di dunianya sendiri, juga menarik. Bayangkan, kamu terjebak di kotak kecil, panik dan berlarian ke sana kemari tapi sebenarnya tidak pernah ke mana-mana. Mengerikan bukan?
Cinta dalam banyak wajah
Film dialogue-driven seperti ini sepenuhnya bergantung pada kekuatan naskah dan tentu saja akting pelakon-pelakonnya. Terpeleset sedikit, film ini jatuhnya malah cheesy, kriuk dan “begitu doang”. Untung saja, Adrianto Dewo piawai menggulirkan cerita, peralihan topik dan scene terasa begitu halus dan chemistry tokoh Ara dan Lea yang tercipta juga natural. Meski film realis ini mengalun lambat dan mendayu, tapi konsepnya menarik. Topik-topik yang dibahas juga menarik, eksistensialisme, pencarian jati diri, traumatik, dan tentu saja cinta.Orang-orang asing yang terlalu berisik?
Terakhir, entah mengapa saya merasa Ara belum terlalu frustrasi untuk mau berteriak kencang-kencang saat disuruh Lea. Mungkin dia putus asa dengan percintaannya dengan Ayu. Mungkin dia ingin sekali bebas. Seberapa jauh, tidak diceritakan dalam film, hanya melalui penuturan Ara. Sekali lagi, film ini memilih untuk “telling” daripada “showing”.
Joko Pinurbo dan Percintaan yang Awkward
Adegan sepertiga terakhir sebenarnya jauh lebih menarik. Di sini interaksi kedua tokoh lebih natural. Musik, bar, dan minuman. Kedekatan kedua tokoh juga lebih tidak berjarak. Mereka tertawa dengan muka memerah. Di sini, saya merasa seperti tengah membaca buku sastra. Very Artsy. Sangat Puitis.
Tapi lagi-lagi, ketika kedekatan itu belum bisa menjustifikasi mengapa mereka akhirnya tidur bersama. Mungkin minuman mengambil kesadaran mereka. Mungkin memang hati mereka sudah terjalin. Tapi, sayangnya film ini tidak bisa meyakinkan penonton bahwa adegan itu memang wajar. Memang natural.
Pada akhirnya, film ini hanya membicarakan permukaan. Topik-topik dalam yang seharusnya lebih menggugah hanya sampai di obrolan berbalas yang cantik untuk dikutip, semisal di media sosial atau buku harian (tapi memang masih ada yang menulis diary saat ini?). Begitu juga puisi Joko Pinurbo yang dikutip di akhir hanya berperan sebagai asesoris. Ending yang mengambang juga tidak memberi kedalaman apa-apa. Namun hal yang saya apresiasi, dibanding A2DC 2, film ini lebih mulus, baik interaksi maupun obrolannya. Setidaknya, tidak ada perbincangan politis yang ala kadarnya.
Satu yang menjadi catatan saya: Puisi Joko Pinurbo yang begitu menyentuh. Halte. Persinggahan. Memang topik yang menarik untuk pelancong-pelancong yang bepergian sendirian.
Musafir—kita.
Komentar
Posting Komentar