REVIEW: ONE NIGHT STAND


Sutradara           : Adriyanto Dewo
Produser            Perlita Desiani
Pemeran           : Jourdy Pranata; Putri Marino; Elang El Gibran; Agnes Naomi; Tegar Satrya;
Penata musik     : Alvin Callysta
Sinematografer  : Tri Adi Prasetyo
Tanggal rilis       : 26 November 2021

One night stand ini film tentang mengobrol. Tentu saja isinya hanya obrolan, obrolan dan obrolan. Kalau kalian pecinta “trilogy before” dari Richard Linklater, kemungkinan bakal suka sama film ini.


Plot One Night Stand sesungguhnya sederhana. Film ini bercerita tentang pertemuan Ara dan Lea dan perjalanan mereka selama sehari yang kata Lea sebuah kebetulan. Hari itu Ara mesti menghadiri dua upacara yang berbeda, pemakaman dan pernikahan. Akhir dan awal. Menarik, bukan? Sayangnya, plot itu cuma pemanis. Seperti yang saya sebut sebelumnya, film ini tentang percakapan. Isinya dari awal sampai akhir berupa perbincangan tentang kehidupan dari sudut pandang dua orang yang semula asing.


Sebenarnya, pembukanya cukup menggelitik. Kutipan menarik yang bertutur: Bumi dipenuhi orang tersesat dan mereka bepergian di dunianya sendiri, juga menarik. Bayangkan, kamu terjebak di kotak kecil, panik dan berlarian ke sana kemari tapi sebenarnya tidak pernah ke mana-mana. Mengerikan bukan?



Cinta dalam banyak wajah

Film dialogue-driven seperti ini sepenuhnya bergantung pada kekuatan naskah dan tentu saja akting pelakon-pelakonnya. Terpeleset sedikit, film ini jatuhnya malah cheesy, kriuk dan “begitu doang”. Untung saja, Adrianto Dewo piawai menggulirkan cerita, peralihan topik dan scene terasa begitu halus dan chemistry tokoh Ara dan Lea yang tercipta juga natural. Meski film realis ini mengalun lambat dan mendayu, tapi konsepnya menarik. Topik-topik yang dibahas juga menarik, eksistensialisme, pencarian jati diri, traumatik, dan tentu saja cinta.

Di film ini kita bisa menyaksikan banyak wajah cinta. Bukan cuma yang manis versi Edo dan Ruth yang hari itu menikah, tapi juga cinta yang ikhlas seperti cinta Rendra untuk almarhum istrinya. Ada pula cinta yang marah seperti Ara pada ayu, dan cinta yang menyesal seperti kisah Johan dan ibu Dimas. Akting Putri Marino dan Jourdy Pranata di film ini sangat patut diapresiasi.

Orang-orang asing yang terlalu berisik?

Sayangnya, kelebihan-kelebihan itu tidak disertai dengan “logic” yang meyakinkan. Hal ini lumayan mempengaruhi pengalaman menonton saya. Entahlah, sebagai introvert yang terbiasa menyimpan banyak hal untuk diri sendiri dan menarik garis tebal sebagai pembatas, perbincangan-perbincangan di film ini terasa “mengganjal”. Pertama, obrolan tentang bandara. Bagian Lea menyampaikan pendapatnya tentang bandara kerasa canggung. Obrolan ini terlalu puitis untuk dua orang yang baru beberapa detik ketemu. Scene ini juga terlalu medioker karena bandara dan filosofinya sudah terlalu sering diobrolkan dalam novel-novel dan film. A2DC bisa disebut sebagai salah satu contoh.

Selain pendapat, cerita-cerita personal dan rahasia keluarga melompat begitu saja tanpa konteks cerita yang utuh. Perjalanan cinta Johan dan ibunya yang dibicarakan Dimas pada Ara dan Lea, dua orang asing, terasa tanpa aba-aba. Ara memang mengenal Dimas, tapi mereka sudah lama tidak bertemu, sementara Lea, tidak ada tanda-tanda bahwa ada ikatan khusus di antara mereka. Aib itu meluncur begitu cepat, tanpa “bridging”, padahal topik itu tak biasa, tapi dibicarakan begitu mudah dengan beberapa orang asing.

Lalu ada beberapa gesture yang juga awkward. Mungkin terlalu detail untuk diamati, tapi tetap ganjil (setidaknya buat saya). Sewaktu Ara memberi tahu Lea kalau dia sudah tahu mau kemana setelah hari itu, kontak mata di antara mereka terasa tidak pada tempatnya. Maksud saya, mereka dua orang yang baru ketemu, kebetulan saja Lea bersedia menemani Ara untuk menghadiri acara pernikahan, dan mereka memang berbincang banyak hal, lalu apa yang diharapkan dari adegan memberitahu rencanamu pada orang asing? Tentu tanggapan yang biasa saja, bukan? Tapi adegan itu tersampaikan seperti dua orang yang sudah punya ikatan, dan rencana itu seperti sebuah “kehilangan” (?)

Lalu, karakter-karakter Lea yang tidak bisa menangis, Ara yang teratur dan penurut, alih-alih ”ditunjukkan” malah “disampaikan” dalam obrolan. Sungguh tidak meyakinkan. Lea mengklaim dia sudah lama tidak bisa menangis, dan dikuatkan dengan cerita traumatik masa lalunya. Haha, ini terasa seperti anak-anak di media sosial yang cepat-cepat mengaku si paling senja hanya karena dia sudah membaca satu dua novel romantis yang puitis. Saya pikir, konsep show not tell tidak hanya berlaku dalam menulis, dan film ini gagal menerapkan itu.

Terakhir, entah mengapa saya merasa Ara belum terlalu frustrasi untuk mau berteriak kencang-kencang saat disuruh Lea. Mungkin dia putus asa dengan percintaannya dengan Ayu. Mungkin dia ingin sekali bebas. Seberapa jauh, tidak diceritakan dalam film, hanya melalui penuturan Ara. Sekali lagi, film ini memilih untuk “telling” daripada “showing”.




Joko Pinurbo dan Percintaan yang Awkward

Adegan sepertiga terakhir sebenarnya jauh lebih menarik. Di sini interaksi kedua tokoh lebih natural. Musik, bar, dan minuman. Kedekatan kedua tokoh juga lebih tidak berjarak. Mereka tertawa dengan muka memerah. Di sini, saya merasa seperti tengah membaca buku sastra. Very Artsy. Sangat Puitis.

 

Tapi lagi-lagi, ketika kedekatan itu belum bisa menjustifikasi mengapa mereka akhirnya tidur bersama. Mungkin minuman mengambil kesadaran mereka. Mungkin memang hati mereka sudah terjalin. Tapi, sayangnya film ini tidak bisa meyakinkan penonton bahwa adegan itu memang wajar. Memang natural.




Pada akhirnya, film ini hanya membicarakan permukaan. Topik-topik dalam yang seharusnya lebih menggugah hanya sampai di obrolan berbalas yang cantik untuk dikutip, semisal di media sosial atau buku harian (tapi memang masih ada yang menulis diary saat ini?). Begitu juga puisi Joko Pinurbo yang dikutip di akhir hanya berperan sebagai asesoris. Ending yang mengambang juga tidak memberi kedalaman apa-apa. Namun hal yang saya apresiasi, dibanding A2DC 2, film ini lebih mulus, baik interaksi maupun obrolannya. Setidaknya, tidak ada perbincangan politis yang ala kadarnya. 

 

Satu yang menjadi catatan saya: Puisi Joko Pinurbo yang begitu menyentuh. Halte. Persinggahan. Memang topik yang menarik untuk pelancong-pelancong yang bepergian sendirian.


Musafir—kita.

Komentar