THE PAINTED VEIL: PERJALANAN PANJANG PENDEWASAAN DIRI


Judul: The Painted Veil
Penulis: Somerset W Maugham
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2011)
Halaman: 304


Awal membaca novel ini, saya terserang rasa bosan, mungkin dikarenakan tema yang diangkat si penulis, Cinta dan Pengkhianatan. Setelah mengikuti kisah Anna Karenina karya Leo Tolstoy, mau tak mau saya selalu membandingkan cerita-cerita dengan tema serupa dengan novel tersebut. Sepanjang saya membaca, saya belum menemukan karakterisasi tokoh yang begitu kuat seperti yang ditulis Tolstoy. Meski ceritanya terkesan biasa namun sangat menghanyutkan. Pembaca merasa dekat dan mengenal setiap tokoh.

Untung saja, kebosanan saya tidak sampai memaksa saya menutup buku setebal 304 halaman ini dan melupakannya begitu saja. Saya mulai terseret dalam kisah cinta tidak berakhir bahagia ini ketika Kitty “ketahuan” menjalin hubungan secara diam-diam dengan Sekretaris Gubernur Hongkong, Charlie Townsend. Walter Fane—seorang ahli bakteri yang cerdas namun tidak bisa bersosialisasi—memberi pilihan sulit kepada istrinya, Kitty, yaitu mengikutinya ke Mei-tan-fu (salah satu wilayah di Cina yang terserang wabah kolera) atau diceraikan dan menanggung malu.

Pertanyaan yang pertama muncul dalam kepala saya. bagaimana mungkin seorang Walter Fane yang cerdas meski kaku dan terkesan dingin itu bisa jatuh cinta dengan Kitty? Saya tidak bisa tidak menertawakan pilihannya. Pastilah Walter sama dengan pria-pria bodoh lainnya, yang memandang perempuan dari kecantikan fisik semata dan mengabaikan fakta bahwa perempuan itu vulgar serta berpikiran dangkal. Sementara Kitty, apalagi yang bisa saya lakukan selain mencemooh kelakuannya. Alih-alih bersimpati ketika Charlie menipu dan menghancurkan perasaannya dengan santai, saya justru menertawakannya. Perempuan bodoh yang bahkan tidak bisa melihat kelicikan pria flamboyan yang brengsek semacam Charlie.

Kitty tidak mencintainya, itu fakta yang sangat diterima oleh Walter Fane. Hal tersebut tersirat dalam kutipan berikut:


“… Aku tidak pernah mengharapkan kau mencintaiku, aku tidak melihat alasan apa pun yang membuatmu bisa mencintaiku, aku tidak pernah menganggap diriku sangat layak dicintai. Aku bersyukur sudah diperbolehkan mencintaimu, dan aku sangat bahagia kalau sesekali kupikir kau merasa senang padaku, atau kalau kulihat di matamu ada sedikit saja binar-binar rasa sayang. Aku mencoba tidak membuatmu bosan dengan cintaku; Aku tahu itu tidak boleh terjadi, dan aku selalu waspada memperhatikan kalau ada tanda-tanda kau mulai tidak sabar dengan kasih sayangku. Apa yang oleh sebagian besar suami dianggap sebagai hak mereka, rela kuterima sebagai sesuatu yang diberikan karena belas kasihan.” (hal. 83)
Tetapi pengkhianatan yang dilakukan Kitty sangat menyakitkan baginya. Bukan semata karena dia merasa ditipu, tetapi karena Kitty tidak bisa melihat bahwa Charlie tidak pernah berniat "serius" dengannya.

Lalu apa tujuan Walter Fane mengajak Kitty ke Mei-tan-fu? Benarkah dia ingin membunuh Kitty di sana?

Maugham tidak menyajikan kisah cinta yang dangkal. Novel ini bukan semata tentang cinta picisan dan pengkhianatan, tapi lebih ke proses pendewasaan diri setiap tokoh (mungkin juga pembaca). Tokoh dideskripsikan secara manusiawi. Walter Fane yang mencintai Kitty dengan tulus bukan lantas tidak memiliki kekurangan. Dan bila ditinjau dari masa lalu Kitty, pembaca juga tidak bisa (selamanya) menghakimi dia. Kitty dibesarkan oleh seorang ibu yang ambisius, Mrs. Garstin. Saat menyadari bahwa Kitty terlahir cantik, Mrs Garstin mengajarkan padanya tentang bagaimana merias diri. Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan mimpinya memiliki status sosial tinggi dan kaya raya. Kecantikan, pesta dansa, dan bagaimana menjerat laki-laki dari kalangan bangsawan selalu menjadi orientasi hidup Kitty. Namun karena terlalu pemilih, Kitty mulai kehilangan penggemar, sementara dia harus menerima kenyataan pahit, bahwa adiknya, Doris yang tidak terlalu cantik dan selalu diabaikan sang ibu justru mendapatkan seorang pria dari kalangan menengah atas dan akan segera melangsungkan pernikahan. Notabene perhatian Mrs Garstin beralih ke adiknya. Itu sebabnya Kitty bersedia menerima pinangan Walter Fane. Dia ingin melarikan diri dari tekanan Mrs. Garstin yang mulai menganggapnya tidak berguna.

Di Mei-tan-fu, Kitty melihat kehidupan yang berbeda. Lambat laun dia memandang dunia dengan cara yang berbeda pula. Di sana, dia “menyaksikan” kisah cinta yang bertolak belakang dengannya. Dia pun mulai memahami betapa singkatnya kehidupan setelah melihat mayat-mayat yang (dibiarkan) terlantar di berbagai tempat di negeri itu. Seiring waktu dia juga mulai memahami pribadi Walter. Dia mengerti bila suaminya memiliki kapasitas mencintai yang sangat besar. Meski dia masih menyimpan marah, namun dia masih memerlakukan Kitty dengan sopan. Kitty pun menyadari kesalahannya dan berharap bisa berteman dengan suaminya sebab dia tak ingin Walter terus menerus hidup dengan membenci dirinya sendiri karena telah mencintai Kitty.


"Betapa anehnya karena Walter yang begitu cerdas ternyata tidak mampu menempatkan masalah dalam proporsi semestinya. Karena dia telah mendandani sebuah boneka dalam jubah-jubah elok dan kemudian menaruhnya di altar untuk dipujanya, namun kemudian mendapati boneka itu ternyata hanya berisi serbuk gergaji, maka dia tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri maupun bonekanya. Jiwanya telah terluka.” (Hal. 163)

The Painted Veil bercerita tentang perjalanan panjang seseorang menuju kedewasaan. Pendewasaan bukan dalam arti memaafkan orang yang telah (sengaja atau tidak sengaja) menyakiti, namun juga pengampunan terhadap diri sendiri. Itu bukan hal yang mudah. Dan Maugham menyampaikannya melalui tokoh Kitty—yang seiring perjalanannya—mengalami transformasi dari perempuan bodoh dan hanya memikirkan kesenangan menjadi manusia dewasa secara batiniah.

Tiga bintang dari Lima Bintang untuk buku ini. Untuk ceritanya yang menggugah dan sarat akan perenungan. Akan tetapi, saya tidak menyukai sampul buku yang didominasi warna merah muda ini. Sama sekali tidak merepresentasikan "isi" dari keseluruhan kisahnya, menurut saya. Terjemahannya sendiri lumayan membuat nyaman


Komentar

  1. sama nih, sempat bosan pas awal-awal baca, tapi semakin menarik pas udah ambil setting Cina. tragis, ceritanya lebih suram dibandingkan filmnya sampai halaman terakhir

    BalasHapus
  2. Hehehe, belum nonton filmnya sih, tp bukannya selalu begitu, buku lebih bagus dari hasil visualisasinya? ^^

    BalasHapus
  3. setuju dengan fairynee, buku memang lebih menarik sebenarnya untuk dibaca daripada filmnya namun begitu sepertinya jika dibandingin lebih banyak yang suka nonton dari pada baca.

    BalasHapus
  4. yahhh, krn film lebih cepat selesai, dua sampai tiga jam selesai. buat yg hanya punya waktu sedikit, emg lebih suka nonton

    BalasHapus
  5. filmnya bagus. Edward norton :)

    BalasHapus

Posting Komentar