SEMUA AKAN (P) INDAH PADA WAKTUNYA

Kamis malam, 30 Agustus, satu pesan masuk via whatsapp. Itu pesan dari teman saya. Dia bilang, "Kak, ga ada lagi yang ngajarin kami nari nanti (dengan emoji menangis)."

Jujur, saya bingung dengan isi pesannya. Dengan polos saya tanya, "maksudnya?" Belum mendapat jawaban, pesan lain masuk. Kali ini berisi ucapan selamat. Saya yang baru kelar bersih-bersih dan berniat tidur jadi sedikit terusik. Dengan jantung berdegup tak karuan, saya buka grup whatsapp kantor. Ucapan selamat sudah berjibun. Ada nama saya dalam ucapan-ucapan tersebut. Saya scroll sampai atas, dan menemukan satu file pengumuman. Saya mutasi ke kota lain.

Dan pengumuman itu membolak-balik semuanya.

Dua hari sebelumnya, saya baru bayar uang muka pembelian tempat tidur. Matras saya yang lama sudah rusak, dan sama sekali tidak mendapat firasat akan pindah kota. Jadi, dengan yakin saya memilih tempat tidur dengan kualitas yang lumayan. Saya juga berencana mendekor ulang kamar. Saya sudah memesan wall paper sticker dan membeli beberapa pernik pernik lucu untuk melengkapi rencana saya. Dan semua rencana itu buyar, berganti dengan rencana baru yang terasa sungguh di luar akal saya.

Semua akan (P) indah pada waktunya
Jargon ini selalu berseliweran di banyak percakapan dengan rekan-rekan kerja. Kalimat itu menjadi semacam penghibur di tengah ketidakpastian mutasi yang menghantui kami tiap saat. Selama ini, saya terbiasa menjadi pihak yang melepas. Di sisi ini, sesedih-sesedihnya saya, perpisahan menjadi biasa setelah berjalan lebih dari seminggu. Namun, kali ini saya berada di pihak yang dilepas. Terasa aneh. Bahkan saya tidak tahu harus merasa gembira atau bersedih saat melihat pengumuman itu.

Mutasi adalah wajib. Saya dan banyak rekan sejawat memahami itu; bahwa kapan saja dan di mana saja, kami harus siap dipindahkan, sesuai dengan komitmen yang telah kami tandatangi dalam surat pernyataan bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Kami juga selalu ditatar untuk menanamkan kesadaran bahwa NKRI adalah homebase kami. Namun, tetap saja, berita mutasi selalu menjadi kabar yang membikin galau banyak pihak, termasuk saya.

Medan-Bandung: Jetlag berminggu-minggu
Saya suka berjalan, dan Bandung bukan kota yang baru pertama kali saya kunjungi. Akan tetapi, mutasi tentu berbeda dengan perjalanan biasa saya sebelumnya. Saya tidak hanya direpotkan perihal tas dan bagasi, rencana atau peta virtual. Kali ini saya mesti memikirkan tempat tinggal selama kurang lebih 3 tahun, cara bersosial dengan rekan kerja baru yang notabene berbeda budaya, dan perasaan sendirian di kota orang. Hal terakhir sering membikin saya pening kalau memikirkannya. Sampai-sampai, seminggu sebelum keberangkatan menjadi minggu paling melelahkan dalam hidup saya. Masalah pindah tempat tinggal dan pak barang-barang seperti tidak pernah selesai. Belum lagi emosi yang naik-turun. Kenyamanan saya sungguh-sungguh terusik.

Pindah ke Bandung sebenarnya bukan masalah. Toh, kota tujuan saya tidak berbeda jauh dengan Medan, bahkan lebih lengkap dan besar. Saya semestinya bersyukur, apalagi jarak tempat baru saya ini lebih dekat dengan tuan D. Setidaknya intensitas bertemu kami akan lebih banyak, dan kuantitas "debat ga penting" kami juga akan lebih banyak. Sudah sepatutnya saya bergembira. Nyatanya, keluar dari kotak kenyamanan membuat saya histeris. Saya membayangkan hal-hal tidak masuk akal dan menangis, yang kalau diingat-ingat sekarang justru terdengar menggelikan.

Begitulah.

Hidup akan terus berjalan. Saya sudah hampir dua minggu di Bandung. Hal-hal menakutkan yang saya pikirkan sebelumnya hampir tidak terjadi. Selain soal rasa makanan dan jam gelap-terang yang berbeda, saya hampir tidak mendapatkan kesulitan. Meski belum sepenuhnya nyaman, namun saya mulai terbiasa. Dan teman saya menangis sebelum berangkat dulu, saya yakin sudah mulai terbiasa tanpa saya, tanpa obrolan-obrolan tidak penting kami setiap jam makan siang. Seperti saya yang juga mulai terbiasa melewatkan jam-jam makan siang bersama teman-teman baru saya.

Dan melihat kembali minggu sebelum keberangkatan, saya tersadar; saya sudah melupakan hal paling penting. Bahwa manusia telah dilengkapi mekanisme canggih sejak lahir, yaitu kemampuan adaptasi. Apa pun hal baru yang datang dan mesti dihadapi, sedikit demi sedikit, saya atau kamu bahkan kita akan mampu menyesuaikan diri. Entah bagaimana caranya. Untuk ini, saya mesti membuat pengingat, jika kelak, saya kembali diusik, saya sudah sedikit lebih tenang dan tidak canggung menghadapinya. So....

Sampai bertemu kembali Medan. Please be nice to me, Bandung.
SAYONARA


Perpisahan PUK

Kenang-kenangan dari teman angkatan 2009 domisili Medan

Acara sarapan bersama unit kerja lama

Komentar

  1. Dua hari sebelumnya, saya baru bayar uang muka pembelian tempat tidur. Matras saya yang lama sudah rusak, dan sama sekali tidak mendapat firasat akan pindah kota. Jadi, dengan yakin saya memilih tempat tidur dengan kualitas yang lumayan.
    LukQQ
    Situs Ceme Online
    Agen DominoQQ Terbaik
    Bandar Poker Indonesia

    BalasHapus

Posting Komentar