THE FLORIDA PROJECT

Sutradara              : Sean Baker
Skenario                : Sean Baker, Chris Bergoch
Pemeran                : Brooklynn Prince, Bria Vinaite, Willem Dafoe, Valeria Cotto, Christopher
                                   Rivera
Sinematografi       : Alexis Zabe

Alkisah, tersebutlah suatu tempat tak jauh dari negeri impian Disneyland, bernama Magic Castle. Di motel kumuh berwarna ungu muda itu tinggal Moone (Brooklyn Prince), Scotty (Christopher Rivera) dan Dicky (Aiden Malik). Mereka anak-anak usia enam tahun yang sepanjang hari bermain di pinggiran Disney World. Moone adalah putri di kerajaannya sendiri. Dia nakal dan acap melontarkan kata-kata kasar, mengabaikan teguran orang dewasa dan tak jarang menipu pengunjung Disneyland untuk bisa mencicipi secontong es krim bersama Jancey dan Scotty.

Berbeda dengan para putri dari Disneyland, di Magic Castle tidak ada cerita tentang putri tidur yang menunggu pangeran tampan menemukan kastil tuanya, atau cerita tentang putri yang karena kecantikannya sampai diracun oleh ibu tiri, tidak juga ada cerita tentang pesta dansa, tarian atau nyanyian. Di sana, hanya ada kisah tentang kemiskinan Halley (Bria Vinaite), seorang ibu muda yang bahkan untuk menyicil uang sewa harus rela berpanas-panas menjaja parfum ke turis di parkiran resort-resort Disneyland. Tidak diceritakan, bagaimana Halley bisa menjadi seorang ibu dan asal-usul keluarganya.


IRONI DI NEGERI IMPIAN "DISNEY"

Disney World punya nama besar sebagai taman bermain termegah di dunia. Disney dibangun berdasar cita-cita Walt Disney untuk menghadirkan taman bermain keluarga tanpa ada elemen negatif bagi anak-anak. Disney World adalah tanah impian dan dibangun untuk mewujudkan mimpi para pemuja karakter-karakter imajiner Disney. Bukan saja anak-anak, orang dewasa dari berbagai belahan dunia pun kerap bermimpi mengunjungi tempat itu.

Akan tetapi, Disney bukan untuk semua orang. Tidak juga untuk Moone dan anak-anak yang tinggal di motel-motel kumuh semacam Magic Castle dan Futureland. Mereka berada dekat sekali dengan taman bermain paling tersohor itu namun tak bisa menyentuhnya. Bagi Moone atau Jancey, Disney bagai menara gading, tampak gemerlap namun tak terjangkau. Bahkan meski sudah mempunyai "gelang" sebagai tiket masuk ke arena bermain itu, si penjaga pintu tidak percaya Moone, Jancey dan Halley layak menginjakkan kaki di sana.




Bisa jadi, lebih mustahil bermimpi memasuki Disneyland ketimbang menyentuh pelangi yang dilihat Money dan Jancey di suatu sore. Kemilau Disney meredupkan fakta bahwa kemiskinan tumbuh pesat bagai jamur-jamur di musim hujan di sekelilingnya. Dan lewat film ini, Baker ingin menangkap realita dan menunjukkan pada penonton, keajaiban yang ditawarkan negeri impian itu sesungguhnya sumbang. Disney dan mimpi-mimpinya hanya satu dari sekian produk kapitalis yang pelan-pelan menggerogoti kehidupan masyarakat Florida. Dan cita-cita awal Walt Disney justru memunculkan elemen negatif lain bagi anak-anak; ketimpangan sosial.



The Florida Project – judul ini diambil dari kode Disneyland selama masa pengembangan di wilayah Orlando, Florida. The Florida Project berlatar tahun 2008, saat krisis subprime mortgage menghantam Amerika Serikat habis-habisan. Rakyat Amerika hidup dalam hutang, bertahan hidup dengan kartu kredit dan kredit perumahan. Pengurangan pegawai terjadi di mana-mana, salah satu korbannya adalah, Halley, perempuan muda sekaligus orang tua tunggal Moone.

SEMESTA KERAJAAN "MOONE"

Moone, anak perempuan yang melihat dunia sebagai taman bermain. Keseharian Moone dipenuhi keceriaan, kebebasan dan ketidakpedulian. Dia bermain dengan benda-benda dan reruntuhan di sekitarnya. Tak jarang dia memaki, mengolok-olok kehidupan yang pelik dengan sifat anak-anaknya, termasuk meneriaki helikopter yang melintas di atas kepala mereka. Helikopter-helikopter itu mengangkut material ke Disneyland. Moone mengacungkan jari tengahnya sambil berteriak-teriak, menantang desing baling-baling capung terbang itu, tentu saja dengan kepolosan anak-anak



Halley, seorang perempuan muda, Ibu Moone, melakukan berbagai cara untuk bisa bertahan hidup dan membayar sewa, mulai dari berjualan parfum sampai menjual diri. Pekerjaan terakhir ini terpaksa dilakoninya karena tak ada yang mau menerima perempuan bertato, berambut hijau dan berkosa kata buruk bekerja di tempat mereka apalagi dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil. Tak ada yang mau ambil resiko selain makhluk hidung belang yang melihat iklannya di internet. Tiap kali menerima "tamu", Moonee selalu diperbolehkan berendam lebih lama di bak mandi bersama boneka-bonekanya.

Meski begitu, Halley tetap menjadi ibu yang luar biasa di mata Moone. Kedekatan mereka terasa normal di kondisi yang tidak normal; siapa sih yang tidak akan mencela, melihat seorang ibu berpakaian minim yang bersumpah serapah di depan anak perempuannya? Nyatanya, Halley menjadi ibu yang ideal bagi Moone, bahkan juga teman-temannya. Mereka tertawa, makan di restoran cepat saji tempat Ashley bekerja, dan mengolok-olok teman lamanya itu karena mendadak menarik diri bahkan tak mengijinkan Scooty bermain dengan Moone. Halley dan Moone pula yang mengingat dan merayakan ulang tahun Jancey di pinggir jalan lintas penuh kendaraan yang lalu lalang, yang bahkan tak dianggap penting nenek Jancey atau penghuni lain Futureland lainnya.


Sementara, Bobby Hicks (Willem Dafoe), manajer Magic Castle sekaligus sosok ayah dan penjaga. Bagi Halley dan Moone, Bobby merupakan karakter berwenang yang menyenangkan untuk dilawan, sebab meski galak, Ia kerap menolong mereka terbebas dari kesulitan. Bobby mengamati anak-anak yang bermain di taman, kemudian mengusir lelaki tua yang berpura-pura linglung namun diyakininya sebagai pemangsa anak-anak. Dia juga menegur perempuan tua penghuni Magic Castle yang berjemur bertelanjang dada di pinggir kolam karena tak mau diintip dengan penuh keingintahuan oleh Money dan Scooty. Tak jarang, dia menalangi sewa Halley tiap kali ibu muda itu kelimpungan mencari uang. Bisa dibilang, tokoh Bobby menjadi nyawa bagi film ini, yang memberi kehangatan dalam kusutnya lingkaran polemik sosial di motel murahan berwarna ungu muda itu.

Akan tetapi, dalam kamera Baker, Bobby Hicks tetaplah manusia biasa. Dia juga menyimpan masalah seperti sebagian besar penghuni motel Magic Castle. Lihat bagaimana Bobby sudah mengecewakan anak muda yang sering membantunya mengangkut-angkut dan mengurus Magic Castle, lalu membuatnya tidak pernah datang lagi ke sana.


WARNA-WARNA PASTEL DAN REPETISI BAKER YANG MENJENGKELKAN

Pujian memang sudah sepantasnya ditujukan pada Sean Baker dan sang sinematografer, Alexis Zabe, yang menangkap dan menyajikan warna-warna pastel dalam filmnya. Bangunan Magic Castle berwarna ungu, Futureland merah muda. Kostum-kostum para tokoh atau properti yang dipakai juga didominasi warna kuning, biru, ungu atau merah jambu.

Dalam dunia psikologi, warna pastel dipercaya mampu menstimulasi perkembangan syaraf motorik anak-anak, karena sifatnya yang lembut dan menenangkan. Warna itu juga dianggap bisa menghadirkan suasana hangat, riang, gembira dan menumbuhkan perasaan kasih sayang. Itu sebabnya warna pastel sering kali dipilih saat mendekor kamar, tempat bermain, atau bangunan sekolah anak-anak. Namun, warna-warna pastel yang dihadirkan dalam film ini menjadi kontradiktif ketika dibenturkan dengan atmosfer kemiskinan yang menjadi konflik utama film ini.


Separuh film The Florida Project menunjukkan keseharian Moone dan teman-temannya. Kamera diletakkan sejajar dengan pandangan anak-anak itu, seolah Baker ingin menunjukkan, beginilah anak-anak yang terpinggirkan memandang dunia dan kemiskinan. Namun, pengulangan-pengulangan adegan yang terlalu sering membuat film ini terasa membosankan. Semisal, adegan Moone bermain dengan bonekanya di bak mandi diiringi suara musik yang kencang yang diulang berkali kali, bagi saya tak memunculkan kesan yang menohok selain perasaan "dicurigai" tidak mengerti maksud si pembuat film. Kemudian, adegan berjalan jauh Halley dan Moone saat menjajakan parfum lalu pulang saat hampir gelap itu juga tak kalah mengganggu. Saya sebagai penonton serasa tidak dipercaya untuk bisa memahami beban yang ditanggung ibu muda berpakaian minim itu mencari uang.

Selain itu, niat Baker ingin menunjukkan semesta Moone dan bagaimana anak kecil itu memandangnya ternyata kurang berhasil. Kemiskinan Halley dan prostitusi yang dilakoninya dipandang dengan "kepala" orang dewasa. Bahkan perpisahan yang dipaksa antara Halley dan Moone juga disorot seperti cara kita melihat masalah itu. Kegelisahan Bobby dan perasaan bersalahnya ketika melihat Halley setengah mati berusaha mengusir petugas sosial, dan Moone yang berteriak-teriak memanggil ibunya tampak begitu gamblang. Kamera Baker gagal merepresentasikan defenisi getir kemiskinan lewat kepolosan anak-anak. Kamera itu sama dengan kamera yang menyorot kaum transgender dalam film Tangerinenya. Film ini terasa ambisius sekaligus kurang berhasil dalam penyajiannya. Atau mungkin terlalu ambisius makanya kurang berhasil?

Satu-satunya adegan yang saya rasa menyorot kegetiran anak-anak menghadapi masalah adalah saat Jancey panik melihat sahabatnya menangis di depan pintu kamarnya. Dia serta merta menarik tangan Moone dan berlari menuju Disneyland, negeri antah berantah itu. Mungkin saja, Jancey ingin bertemu ibu peri yang menolong Ella agar bisa datang ke pesta dansa istana, atau pangeran buruk rupa yang punya kastil megah yang tak berani didatangi siapa pun, untuk bisa menolong mereka.

Mungkin saja.


Komentar