TAMU

 (This short story was published in Femina, a female magazine in Indonesia)



Semestinya dia tidak perlu merasa heran melihat pria itu berdiri di muka pintu rumahnya sore ini. Bukankah sebelumnya pria itu juga sering berkunjung, hampir tiap minggu, meski bukan untuk mengunjunginya secara khusus. Tapi itu dulu, pikirnya. Saat ini pria itu sudah tidak memiliki alasan untuk kembali memencet bel rumahnya, tepatnya sejak sebulan yang lalu. Itu sebabnya dia sampai mengerutkan kening melihat kemunculan pria itu lagi.


“Boleh aku masuk?”

Dia tergagap, menyadari kalau sedari tadi hanya memandang tajam ke arah tamunya itu, tanpa mengatakan apa-apa, apalagi mempersilahkannya masuk. Dia mengangguk, menyingkir sedikit ke samping, dan membuka pintu lebih lebar. Pria itu tersenyum tipis sebagai ucapan terima kasih, lalu melangkah masuk. Dia masih diam, menutup pintu, dan mengikuti langkah pria itu dari belakang dengan ragu.

Mereka memasuki ruang tamu. Meski terlihat berantakan, dia tidak berusaha merapikannya. Di atas sofa bermotif animal print tergeletak bantal dan selimut sembarangan. Sementara di atas meja, ada beberapa gelas, botol wine, dan kotak pizza yang isinya tinggal separuh yang dipesannya semalam. Belakangan ini dia lebih memilih tidur di sofa sambil memandangi televisi yang terus menyala ketimbang di kamarnya sendiri. Rumahnya seperti sudah lama tidak dihuni. Jendela tertutup, kotak surat tidak diperiksa, bahkan rumput di halaman depan tidak dipangkas. Hanya suhu air conditioner yang disetel lebih rendah dari biasanya yang menunjukkan kalau rumah ini masih dihuni olehnya.

“Apa kau baik-baik saja?”

Dia tahu, pertanyaan itu cuma basa-basi. Hampir sama ketika dulu dia menyapa pria itu setiap kali membukakan pintu. Tetapi dulu dia hanya perlu mengucapkan sapaan, hai apa kabar, memanggil Ryan, lalu melakukan aktivitasnya, seperti menonton program memasak di televisi, membaca novel yang baru dibelinya dari bazaar Gramedia di dekat kantornya, atau menyelesaikan calon novelnya yang sudah memasuki usia satu tahun namun tidak menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Sekarang dia bingung bagaimana menyambut tamunya ini.

Pria itu melangkah menuju dapur. Dia terus mengikutinya. Sebenarnya dia ingin mencegah ketika pria itu mencari sakelar lampu dan menekannya. Ruangan mendadak terang. Mereka bisa memandangi setiap sudut dapur, yang kondisinya tidak bisa dikatakan lebih rapi dari ruang tamu. Ruangan ini menyatu dengan ruang makan, sehingga aktivitas masak memasak dapat terlihat jelas dari meja makan. Perabot tidak banyak. Hanya meja bundar dengan perkakas makan tersusun di atasnya, kulkas dua pintu, dan lemari gantung penyimpan berbagai jenis peralatan masak. Peralatan masak yang dimilikinya tergolong lengkap dan bagus, tapi dia sudah jarang memakainya. Sebenarnya dia hampir tidak pernah memakainya. Seingatnya, dulu dia membeli semua itu bukan untuk digunakan olehnya sendiri.

Pria itu berhenti, membalikkan badan, lalu memandang ke arahnya.

“Sudah makan?”

Dia tidak tahan berlama-lama membalas tatapan itu. Alih-alih menjawab, dia malah menggeser salah satu kursi, lalu duduk sambil melipat tangan di atas meja makan.

Pria itu tidak bertanya lagi atau meminta jawaban atas pertanyaannya, berjalan lurus, lalu membuka jendela yang langsung mengarah ke lapangan. Mungkin hampir satu minggu-dia tidak ingat persis-tidak membuka jendela, tidak juga menggosok bak cuci, menyalakan kompor, atau menata meja. Roti yang dibeli ibunya di supermarket ketika berkunjung seminggu lalu sudah membusuk, dan telah memenuhi keranjang sampah di bawah bak cucinya. Pria itu memandang ke luar jendela, pada sekelompok anak yang bermain sepak bola. Suara mereka riuh rendah. Hampir sepuluh menit, mungkin juga lebih, dia tidak menghitung. Sementara langit terlihat semakin pucat.

“Aku lapar. Kau juga pasti belum makan.”


Dia merasa tersinggung. Mendadak dia ingin menghardik pria itu keluar dari rumahnya segera. Beberapa menit yang lalu pria itu berdiri di muka pintu rumahnya, bertanya kabarnya, lalu sekarang seenaknya berkata kalau dia lapar, dan tanpa merasa bersalah pula membongkar-bongkar isi kulkasnya.

Kenapa mencari makanan di rumahku? Apa perempuan itu sudah bosan memasak untuknya setiap hari? Atau jangan-jangan dia merasa bosan mencicipi masakan buatan perempuan itu, dan ingin mencari sedikit selingan?

Itu sangat tidak mungkin. Dia ingat, dulu setiap kali Ryan pulang dari rumah mereka, dia selalu bercerita dengan penuh semangat mengenai menu makanannya. Dengan suara cadelnya, Ryan bilang, menu makanannya selalu berbeda setiap minggu, dan kesemuanya sangat enak. Tapi dia tidak akan berpikir sejauh itu bila pria itu tidak berada di hadapannya sekarang, membuka jendela dapurnya dan mengacak-acak isi kulkasnya.

Tampaknya pria itu tidak menemukan apa-apa, selain dua bungkus mie instan, sedikit mentega, dan tiga butir telur ayam ras. Beberapa bumbu dapur yang sudah layu dalam keranjang yang digantung di dekat lemari penyimpanan peralatan masak.

Persediaan makanan yang dibeli Ibunya seminggu yang lalu telah habis. Sebagian besar isinya terbuang ke keranjang sampah, atau terpaksa dimasak sendiri ala kadarnya demi memenuhi janji pada ibunya untuk makan teratur. Terkadang dia merasa ibunya terlalu cerewet, tidak pernah benar-benar menganggapnya dewasa, dan masih saja memperlakukannya seperti ketika pertama sekali masuk sekolah. Bertanya ini itu yang sebenarnya tidak perlu dikuatirkan. Bahkan sehari sesudah kepulangan ibunya, telepon terus berdering, dan dari seberang ibunya selalu mengingatkan tentang banyak hal, terutama pola makan dan istirahat yang teratur.


Kompor dinyalakan. Lalu bunyi pisau beradu dengan papan talenan. Tak berapa lama, bau harum bawang merah dan bawang putih yang ditumis dengan mentega bergantian menyerbu hidungnya. Dia masih terpekur sambil bertopang dagu, memperhatikan punggung pria itu yang bergerak-gerak dengan cepat. Sama sekali tidak berubah, pikirnya. Sejak dulu selalu saja cekatan memasak.

Dulu dia juga suka duduk tenang di kursi ini sambil memandangi pria itu memasakkan sesuatu untuk mereka berdua. Sepulang kantor atau ketika akhir pekan. Sup sayur, spaghetti, nasi goreng, omelette keju, atau hidangan lainnya. Berbagai jenis hidangan dari berbagai negara, dan kesemuanya sangat enak.

“Makanlah,” kata pria itu beberapa menit kemudian sambil menenteng dua piring mie goreng instan dan menaruhnya di atas meja. Setelah itu menghidangkan omelette. Pria itu menuang air mineral dingin dalam dua gelas, menggeser kursi, dan duduk persis di hadapannya. Dia masih berdiam diri, memperhatikan pria itu yang mulai makan dengan lahap.
Pria itu berhenti makan, dan memandang ke arahnya.

“Makanlah, aku yakin kau belum makan apa-apa sejak pagi tadi.”

Dia mengangguk saja, tapi pria itu terus menatapnya, tidak memberinya kesempatan untuk beralasan. Dengan malas dia mengambil sendok lalu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya yang sejak sebulan lalu lebih banyak disentuh wine dan makanan siap saji yang dipesannya lewat telepon. Dia memang sedang tidak ingin keluar rumah atau bertemu banyak orang yang menurutnya sengaja memakai topeng simpati ketika berpapasan dengannya. Bahkan minggu lalu dia telah mengajukan surat permohonan cuti, dan berencana menghabiskan seluruh jatah cutinya tahun ini, meski tidak kemana-mana.


Tidak bisa dipungkirinya, makanan itu lumayan enak. Dia menikmatinya. Suara sendok mereka yang beradu dengan piring mengusik keheningan. Dari bingkai jendela yang terbuka, malam turun perlahan. Anak-anak yang bermain bola tadi sudah tidak terlihat.

***

Mereka selesai makan bersamaan. Entah bagaimana caranya pria itu bisa menyesuaikan ritme makannya sehingga dia tidak didahului, dan tidak punya alasan untuk berhenti sebelum menghabiskan seluruh makanan di piringnya.

Di depan bak pencucian, mereka berdiri berdampingan. Tadi dia tidak membiarkan pria itu mengangkat piring yang dipakainya. Mereka tidak mengatakan apapun. Hanya suara air mengalir, dan desah napas mereka yang sesekali terdengar.

Pria itu memaksanya untuk ikut membersihkan ruangan ini. Dia merasa tidak enak jika hanya duduk memperhatikan pria itu mencuci seluruh peralatan makan yang berdebu, membuang sampah ke bak sampah yang tidak jauh dari rumahnya, mengepel lantai, dan menata meja makan. Untung saja pria itu tidak berniat memotong rumput.

“Buat apa kau kemari?” tanyanya ketika mereka sudah tidak melakukan apa-apa, hanya duduk berhadapan dan saling berdiam diri di meja makan.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Aku baik-baik saja, cuma lagi males terjebak kemacetan, apalagi mengurusi proyek yang lama-kelamaan terasa membosankan.”

“Bukankah kau menyukai pekerjaan itu sejak dulu?”

Entah mengapa dia merasa pertanyaan barusan lebih mirip ejekan. Seperti penegasan kalau pilihan yang pernah dibuatnya itu memang kesalahan terbesar.

“Sekarang tidak lagi,” katanya dengan suara datar.

“Kau baik-baik saja?” ulang pria itu, kali ini dengan sedikit penekanan.

“Tentu saja,” katanya dengan suara mendadak tinggi. Dia tersinggung, sejak dua minggu yang lalu, orang-orang selalu mengajukan pertanyaan serupa, seolah-olah dia tidak pantas lagi dipercayai untuk menjaga dirinya sendiri.

“Tapi kau terlihat berantakan.”

“Maksudmu? Aku baik-baik saja, dan akan terus baik-baik saja.” Tapi dia tahu, pria di hadapannya ini tidak akan mempercayai ucapannya. Dengan rambut kusut seperti sekarang, muka berminyak, bibir kering dan pecah-pecah, bahkan daster yang dikenakannya semalam belum juga diganti, siapa pun tahu kalau dia tidak dalam kondisi baik.


“Oh, memang aku terlihat sedikit berantakan, tapi aku baik-baik saja. Hanya sedikit malas, maksudku bosan…” ralatnya dengan nada tidak yakin. “Terima kasih, dan aku pikir, sebaiknya kau pulang saja sekarang. Sudah malam.”

Pria itu menghela napas. Tidak menyahut. Padahal dulu setiap kali suaranya meninggi maka akan disambut suara meninggi pula. Lalu mereka bertengkar, mempermasalahkan banyak hal, saling menuding, dan mengungkit kesalahan masing-masing. Dulu dia sempat menyesali keputusannya menikah, karena ternyata mereka memiliki banyak sekali perbedaan, jauh dari yang dapat dia bayangkan sebelumnya.

Pria itu menaruh bungkus rokok yang dikeluarkannya dari saku di atas meja, tapi tidak menyulutnya.

“Aku mengerti perasaanmu saat ini.”

“Kau tahu apa? Kau tidak mengerti apapun!”

“Aku juga masih mengingatnya sampai sekarang.”

Kepalanya serasa berputar.

“Kau tidak ada di sana, tidak menyaksikan semua kejadian dari awal.” Suaranya parau, seperti tersedak bebijian sebesar kelereng. Dadanya serasa mau meledak, seperti ada yang menaruh bom di sana.

“Tapi aku juga merasa kehilangan,” kata pria itu. “Kita sama-sama kehilangan.”

“Tapi aku yang telah menyebabkan semuanya.”

Dia tidak tahan lagi. Dadanya berguncang hebat. Mendadak dia menyaksikan kembali peristiwa mengerikan itu. Ryan, mobil yang melaju kencang, lalu teriakan paniknya saat melihat Ryan berlumuran darah.

Dia menjatuhkan kepala di kedua tangannya yang tertangkup di atas meja. Air matanya mengalir cepat.

Pria itu tidak menyalahkannya. Tapi justru itu, dia merasa muak dengan wajah simpati dan kata-kata yang berusaha menghiburnya. Dia tahu, mereka berdusta dengan berpura-pura tidak menyalahkannya atas semua hal buruk yang telah terjadi.

Bahunya disentuh. Dia masih menangis. Pundaknya ditarik perlahan. Semula dia berontak, tapi pegangan di pundaknya tidak melemah. Mungkin kesedihan tak terhingga telah mendorongnya meletakkan kepala di pelukan pria itu. Mungkin karena dia merindukan sentuhan seperti itu, atau mungkin tidak kedua-duanya. Dadanya semakin sesak. Dia meraung. Kedua tangannya merangkul pria itu dengan erat, sampai dia susah bernapas.

“Aku yang menyebabkan semuanya ini. Aku yang membuat Ryan meninggal.” Lidahnya terasa asin.

Pria itu tidak mengatakan apa-apa, hanya memeluknya. Dia semakin membenamkan wajahnya. Meski hidungnya terasa penuh, tapi dia sempat mencium aroma pria itu. Wewangi kayu-kayuan bercampur keringat.

Sudah lama sekali dan kini tiba-tiba dia merindukan pelukan itu. Terakhir kali ketika mereka bertemu di rumah sakit. Pria itu datang tepat ketika dokter keluar dari IGD. Tubuhnya melemah dalam pelukan pria itu saat mendengar perkataan dokter. Sekarang, satu per satu, dia bisa mengingat jelas pelukan-pelukan sebelumnya yang lain. Ketika dokter mengucapkan selamat atas kehamilannya, ketika mendapat pekerjaan yang bagus, atau ketika dia panik karena demam Ryan tidak juga turun. Tapi saat prosesi pemakaman, dia tidak mau menemui pria itu apalagi memeluknya. Dia hanya berdiri mematung dengan kaca mata hitam besar. Tidak juga menyahut ketika perempuan yang datang bersama pria itu mengucapkan turut berduka. Dia juga ingat, ketika keputusan hakim dibacakan, dia menolak untuk menemui pria itu, dan bergegas pulang bersama Ryan.

Tapi saat-saat seperti ini dia tidak mau sendirian. Dia lelah memandangi foto Ryan dan menangisinya. Dia sangat kesepian. Ryan sudah tidak ada dan dia tidak mau mati mengenaskan dalam kesepian.

Pelukannya masih erat. Sekarang dia tidak bisa mengingat apa yang menyebabkan mereka tidak bersama lagi, selain perasaan tidak suka yang berlebihan terhadap perempuan yang datang bersamanya ketika prosesi pemakaman. Justru dia merindukan sisa-sisa keringat yang melekat di kemeja pria itu, percakapan seusai bercinta, atau perdebatan mereka mengenai banyak hal. Bahkan kalau ingin jujur, belakangan dia lebih memilih tidur di atas sofa sambil menonton pertandingan sepak bola tengah malam karena ingin merasakan keberadaan pria itu bersamanya di sana.

Dia menengadah, memandang dirinya dalam bola mata pria itu. Terlihat sangat berantakan. Pipinya cekung dan rambutnya sangat kusut. Tapi dia tidak bisa melihat bagaimana bentuk matanya setelah menangis di sana. Maka dia mendekatkan wajahnya, memandang bola mata itu lekat-lekat hingga bisa merasakan terpaan napas hangat di wajahnya.
***


Dia terbangun. Bukan di sofa animal print di ruang tamu seperti malam kemarin. Cahaya matahari menerobos lewat gorden jendela besar kamar tidurnya. Dia melihat ke samping, pria itu tertidur pulas.

Dia beringsut, menendang selimut tebal yang menutupi tubuhnya, meraih daster lusuhnya yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya dengan sembarangan. Dia melirik jam weker di atas meja, di samping ranjangnya. Pukul tujuh pagi.

Dipandanginya pria itu lagi yang tertidur dengan menyembunyikan sedikit wajahnya di balik bantal yang dipakainya tadi. Persis Ryan, pikirnya. Tanpa disadarinya dia tersenyum tipis.

Dia beranjak, melangkah menuju dapur dengan bertelanjang kaki. Tidak berniat mencari sandalnya yang mungkin tersuruk di kolong ranjang. Dia merasa haus, mungkin karena terlalu banyak menangis semalam.
Sepanjang melangkah, dia mengingat-ingat kembali peristiwa semalam. Bagaimana dia menangis meraung-raung dalam pelukan pria itu, memintanya untuk tidak pergi, lalu mereka berciuman dalam waktu yang sangat lama. Sampai dia susah bernapas.

Dia membuka kulkas, mengambil sebotol air mineral, menuangnya ke dalam gelas lalu meneguknya dengan cepat. Setelah itu dia duduk terpekur, memandangi embun air di dinding gelas. Tapi hanya sebentar. Dia merasa harus membangunkan pria itu sekarang dan segera menyuruhnya pulang.

Dia bangkit, menyeret langkah menuju kamar tidur. Di lorong, dia berhenti sebentar, memandangi lukisan hasil karya Ryan ketika mengikuti lomba melukis dan mewarnai di sekolahnya. Ryan membuat gambar dua orang dewasa dan anak kecil, lalu  menaruh tulisan di atasnya. Anak kecil itu diberi namanya sendiri, Ryan. Sementara dua gambar orang dewasa diberi tulisan Papa dan Mama. Tapi saat ini, entah mengapa dia merasa tidak pernah berada dalam gambar itu.

***




Komentar