MENGIRIM KENANGAN


 Aku telah memutuskan. Aku akan melupakannya dan membuka lembaran baru. Tanpanya. Tanpa seseorang yang pernah membuat jantungku berdenyut lebih cepat. Tanpa seseorang yang pernah kutitipkan sepotong hatiku. Seseorang yang pernah mengukir janji di terminal keberangkatan dulu.

Aku mulai mengumpulkan segala hal yang mengingatkanku tentangnya. Seluruh kenangan baik yang terpajang di dinding kamar, tergeletak di atas meja kerja, berceceran dalam album-album foto, tersimpan dalam kotak pesan, termasuk kata-kata dalam catatan harianku. Aku mengumpulkan semuanya tanpa sisa. Aku sudah memutuskan, tak ada lagi penantian untuknya. Aku akan mengembalikan seluruh kenangan ini.

Pukul delapan malam, berarti sudah hampir satu jam aku mondar-mandir dalam ruangan 4x4 m ini sembari terus memungut benda berlabel kenangan tentang dia. Ternyata sangat banyak. Aku memandang kardus mie instan yang kubeli dari warung mbah Ijah sore tadi, sepulang mengajar. Ternyata kotak ini tak cukup menampung seluruhnya.

Aku melengos sambil menghenyakkan duduk di atas sofa yang berada di pojok kamar. Berpikir, “Bagaimana caranya aku mengepak seluruh benda ini? Banyak sekali,” Aku mengedarkan pandang pada benda-benda yang berantakan di lantai. “Pantas saja aku tak bisa melupakan si brengsek itu.”

Brengsek?

Ah, sebenarnya dia tak benar-benar brengsek. Bahkan bila dilihat dari penampilan, siapapun setuju kalau dia terlalu sempurna untuk julukan seorang brengsek. Sebenarnya dia lelaki yang sangat memikat untuk diberi label kekasih. Tak dapat dipungkiri bila dulu aku begitu mencintainya. Tutur kata yang lembut, senyum yang memikat, tak romantis tapi mengerti bagaimana memperlakukan seorang wanita, dan…

Damn! Aku menggeleng. Buru-buru meralat apa yang baru saja melintas dalam kepalaku.

Tidak! Takkan kuijinkan kenangan-kenangan itu mengusik keputusanku. Aku menghela napas tak panjang. Menyandarkan bahu yang terasa penat. Bagaimana aku bisa melupakannya bila seluruh waktuku hanya untuk mengenangnya? Segala hal tentang dia. Cuma tentang dia. Bahkan sofa ini pun mengukir kenangan tentangnya. Di tempat inilah aku selalu hinggap saat suaranya menyapa. Aku selalu melayang begitu mendengar senandung rindu dari seberang sana. Di seberang pulau, di kota yang dijuluki Paris van Java.

Sudah tahun ke empat, sejak kami membuat kesepakatan di depan terminal keberangkatan bandara Cengkareng. Sejauh apapun takdir memberi jarak di antara kami, takkan mengubah apapun. Aku mempercayainya. Selalu. Kuatir yang menerjang saat orang tuaku memintaku kembali ke Medan begitu menyelesaikan studi, lenyap sudah. Aku percaya bila kisah yang pernah kami jalin takkan berubah, pun oleh jarak.

“Mungkin ini salah satu ujian yang harus kita hadapi,” dia menyatakan itu tanpa segurat keraguan. Air mata ketidakrelaan dengan lancang menetes di pipiku. Dia menyentuh wajahku lalu menatapku penuh arti. “Aku mempercayai cinta kita. Aku mempercayaimu, Tere. Biar percaya ini yang menguatkan cinta kita. Tak peduli seberapa jauh jarak memisahkan.” Perlahan dia menghapus rinai yang menetes di pipiku sembari berujar, “Aku mau menjalani ujian ini. Aku harap kau pun demikian.”

Dia menggenggam jemariku. Erat.

“Aku akan menjemputmu. Suatu hari nanti. Saat aku telah memperoleh hidup. Saat aku telah mampu untuk menghidupimu dalam hidupku. Aku janji, sayang.”

Lalu seruan dari board pengumuman mengingatkanku bila kisah kami harus berhenti sejenak, tapi dalam kepal jemariku ada setumpuk percaya. Itu cukup sebagai bekal. Aku pun mengucapkan kata pamit. Dia memelukku.

Saat itu, beberapa kali aku menoleh ke belakang, menatap sosoknya yang menatapku sendu. Aku melambai pelan. Matanya tersenyum.

I love you always,” aku membaca gerak bibirnya. Aku mengangguk dan berbisik, I love you too.

Indah bukan? Tapi kenyataan tak seindah kata-kata. Mimpi pun melebur dalam kecewa.

Air mataku jatuh. Aku merasakan nyeri di ulu hati.

Cobalah beri dia kesempatan. Sedikit lagi. Mungkin dia memang belum siap, hatiku berbisik. Lirih. Takut kalau aku akan tersinggung. Tapi aku terlanjur terluka.

Apa! Kesempatan! Apa belum cukup ketidakpastian yang dia hujamkan?

“Mengapa tak memberi kabar atau membalas smsku, Gen?”
“Ah, aku lupa. Maaf. Kamu tidak marah bukan?”

Aku menggumankan sinis, mengejek diriku, mengejek hatiku, mengejek bibirku yang selalu berkata tidak apa-apa untuk kelalaian seorang Genta.

Getar ponsel mengejutkanku. Kepalaku serasa berat, kantuk menggantung di mataku. Badanku dijejali penat. Aku melirik weker yang bertengger di atas meja, di sisi ranjang. Pukul 11.54 WIB.

“Halo, sayang. Ah, syukurlah kamu masih terjaga. Belum terlambat bukan untuk mengucapkan selamat ulang tahun, my dear.”

“Sepertinya kamu sibuk sekali, Gen hingga lupa hari ini.”

“Eh, aku…Eh, maaf…”

Aku memutus percakapan. Aku melengos, kembali terbenam dalam kecewa.

Bahkan ulang tahunku pun dia lupa. Bukan cuma itu, dia juga melupakan moment-moment penting lainnya, termasuk hari jadi kami. Dan kemarin malam adalah puncak keruntuhan toleransiku. Dia telah menghujamkan sebilah pisau di hatiku.

“Ter, apa kau benar-benar mencintaiku?”
“Mengapa bertanya seperti itu?”
“Entahlah, aku selalu dihantui perasaan takut. Aku takut tidak bisa bersamamu.”
Ada-ada saja, kataku.
“Lihat! Kau begitu sempurna. Cantik, baik, lembut, dan memiliki karir yang menjanjikan. Siapapun pasti ingin menjadi pendampingmu kelak.”
“Tapi aku hanya menginginkanmu.”
Kudengar dia menghela napas di sana.
“Entah mengapa aku selalu merasa diriku belum pantas untuk mendampingimu,” lirihnya. “Aku hanya seorang lelaki dengan segala ketidakmapanan bahkan untuk mencukupi kebutuhanku pun aku masih kelabakan apalagi mengajakmu masuk ke hidupku. Aku tak tega membuatmu menderita.”
“Mengapa seenaknya berkata kalau aku akan menderita?” Suaraku tercekat. “Aku telah siap, Gen, sejak dulu. Apa aku pernah mengajukan syarat ketika mengatakan iya? Apa aku pernah berkata kalau dirimu tak sempurna hingga tak layak mendampingiku? Apa aku pernah menyatakan hal itu?” Air mata mulai mengalir.
“Maafkan aku, Tere. Aku tak ingin mengecewakanmu.”

See! Lalu kesempatan apa lagi yang akan kau berikan. Aku menuding-nuding ketololan hatiku.

Aku bangkit. Aku telah memutuskan keluar dari lingkaran ketidakjelasan maka aku harus menyelesaikannya sesegera mungkin.

Dengan cepat aku mengumpulkan seluruh benda-benda yang masih berserakan lalu mengambil cutter dari dalam laci meja kerja. Tak ada cara lain, aku pun mengiris-iris seluruh kenangan ini menjadi repihan agar muat dalam kardus. Termasuk nama yang masih melekat di hatiku. Aku mengeratnya. Aku tak mau ada yang tersisa. Seluruhnya harus dikepak. Harus!

Hatiku berdenyut tak karuan, nyeri. Telaga di mataku membuncah. Setitik air menggantung. Aku segera menghapusnya, juga menghardik hatiku. Keras. Sudahlah! Usah ditangisi. Semua sudah berakhir, ujarku. Tapi hatiku masih menggeliat. Gelisah. Aku kian geram. Aku menyambitnya.

“Aku tak mau merasa nyeri lagi. Ingat! Jangan cengeng.”



Bergegas aku mengambil spidol marker dari laci meja kerjaku. Menutup kardus yang telah penuh dan melekatkan selotip hitam di atasnya. Berkali-kali hingga rekat. Lalu menggoreskan sebuah alamat juga sebaris ucapan: Selamat tinggal kenangan.

Aku menghembuskan napas lega. Sekarang aku hanya perlu mengangkutnya ke luar agar pak Min mengirim paket ini besok. Aku melirik weker di meja. Sudah beranjak ke angka sembilan. Semua sudah selesai. Takkan ada lagi kenangan tentangnya.

Aku merebahkan tubuhku di ranjang, memeluk Teddy bear yang selalu menemani malam-malamku. Aku menemukan seulas senyum, sepertinya dia pun setuju dengan sikapku. Aku memejamkan mata.

“Sejauh apapun takdir memberi jarak, takkan mengubah apapun dalam kisah kita. Percayalah.” Aku menatapnya. Sendu.

“Mungkin ini salah satu ujian yang harus kita hadapi, Re.” ucapnya tanpa segurat keraguan. Air mata ketidakrelaan dengan lancang menetes di pipiku. Satu per satu. Dia menyentuh wajahku lalu menatapku penuh arti.

“Aku mempercayai cinta kita. Aku mempercayaimu. Biar percaya ini yang menguatkan cinta kita tak peduli seberapa jauh jarak memisahkan.” Perlahan dia menghapus rinai yang menetes di pipiku sembari berujar, “Aku mau menjalani ujian ini. Dan aku harap kau pun demikian.”

Aku mau menjalani ujian ini. aku berharap kau pun demikian…Aku berharap kau pun demikian….. Aku mau menjalani ujian ini. aku berharap kau pun demikian…

Aku tersentak. Setetes air mata jatuh, menyentuh punggung tanganku. Aku meraba pipiku yang basah.

Ternyata aku melupakan sesuatu. Mimpi. Selama ini dia selalu mengisi mimpi-mimpiku. Lalu bagaimana caranya menyertakan mimpiku dalam paket itu?

Aku menjatuhkan kepala dalam ketidakberdayaan.

========================================================================
Dimuat di majalah Femina edisi Agustus 2009

Komentar