BUFFALO BOYS: PERTARUNGAN DENDAM KETURUNAN RAJA JAWA

 


Director                    : Mike Wiluan
Skenario                   : Mike Wiluan, Rayya Makarim, Raymond Lee
Pemeran                   : Ario Bayu, Yoshi Sudarso, Pevita Pearce, Tio Pakusadewo,
                                     Reinout Bussemaker, Daniel Adnan, Alex Abbad, Conan Stevens
Sinematografer        : John Radel

Pertama kali melihat teaser Buffalo Boys, saya tergugah. Menyaksikan Ario Bayu dan Yoshi Sudarso berlaga di film ala western lengkap dengan nuansa jingga dan abu-abu terasa begitu menjanjikan. Setelah Marlina, si Pembunuh dalam Empat Babak, Buffalo Boys hadir mewarnai perfilman Indonesia dengan genre westernnya.

Adalah Mike Wiluan, sineas berkewarganegaraan Indonesia yang menetap di Singapura yang menyutradarai film ini. Mike Wiluan merupakan Chief Executive Infinite Frameworks, perusahaan multimedia yang terkenal akan produksi visual efek dan animasi.

Film ini dibuka oleh Arana (Tio Pakusadewo) yang lagi terlelap. Dia tengah menumpang salah satu kereta yang beroperasi di negeri yang disebut Amerika. Di gerbong sebelah, Jamar sedang bergulat dengan petarung bertubuh besar asal negeri itu. Suwo, adik Jamar, berkeliling mengumpulkan uang taruhan dari para penonton. Keributan tersulut saat Jamar yang perawakannya kecil berhasil merobohkan lawan. Penonton yang kalah taruhan menyangka Jamar dan Suwo sudah berlaku curang. Adu tembak tak terelak. Arana yang mendadak muncul di arena perkelahian terkena peluru nyasar Suwo, yang belum mahir menggunakan pistol. Untung meleset. Peluru itu mengenai anak kecil bermata sipit. Mereka memandang ke tubuh anak itu sejenak. Lalu dengan napas terengah, Arana berkata," Sudah saatnya kita pulang."


Enam bulan kemudian, mereka tiba di negeri yang disebut Jawa. Begitu menginjakkan kaki di bumi Jawa, Arana berlutut dan merenggut segenggam tanah. Katanya, Tak disangka dia kembali lagi ke negeri yang bertahun-tahun ditinggalkannya. Jamar dan Suwo memandang tanah kelahirannya itu dengan datar. Mungkin mereka merasa asing dan tak punya ikatan emosi.

Lalu mereka berjalan, melewati perkampungan, menyusuri hutan, dan berpapasan dengan sekompi tentara Belanda bermuka bengis. Tipikal penjajah: kawanan itu berteriak, memaki, mencambuk penduduk setempat yang terseok mengangkut peti-peti. Arana memberi isyarat pada dua ponakannya untuk terus berjalan dan mengabaikan pemandangan menyedihkan itu. Setelahnya, dia mengajak mereka mengunjungi makam sahabat dan masa lalunya.

Buffalo Boys berkisah tentang dendam yang mengendap selama dua puluh tahun. Arana terpaksa kabur setelah menyaksikan sahabatnya, Sultan Hamzah (Mike Lucock) mati di tangan pemimpin kompeni, Van Trach (Reinout Bussemaker). Dua puluh tahun kemudian, dia kembali untuk membalas kematian saudaranya itu.


FILM COWBOY RASA LOKAL

Mike Luwais (Beyond Skyline, Headshoot) agaknya sudah menetapkan diri untuk bergelut di genre aksi. Kali ini, tak tanggung-tanggung, laga ala western lengkap dengan adu tembak namun berasa lokal ini menghabiskan dana sebesar 30 milyar. Film ini mengambil seting abad 19, jaman Belanda menguasai Jawa. Menurutnya, Belanda (tepatnya Van Traach) terobsesi dengan candu dan memaksa rakyat mengganti tanaman padinya dengan ganja. Bila menolak, tiang gantungan menanti.

Dari segi teknis, film ini patut diacungi jempol. Efek dan aksi super gore mampu memanjakan mata penonton. Koreografi, make upsetting, dan editingnya tersaji dengan baik. Akting para pemain juga tak terlalu buruk (meski sebagian penonton mungkin agak terganggu dengan wajah milenial Mikha Tambayong di film ini). Detil laga terutama perkelahian dalam ruang (bar. red) sangat mulus. Wajar saja, siapa pun yang melihat teaser film ini akan tergugah rasa ingin tahu: bagaimana eksekusi film yang mengklaim diri sebagai film western berkearifan lokal ini?

Secara teknis, film ini bisa disebut mapan, namun tidak dengan ceritanya. Naskah film ini terasa sangat mentah. Konflik dan karakterisasi juga kurang nendang. Dialog-dialog dan beberapa adegan yang (semula) terasa menjanjikan malah menggantung tidak jelas. Semisal, tokoh Kiona, anak tertua kepala kampung, marah pada ayahnya yang lembek dan memilih melayani Van Traach. Disebutkan pula, kebiasaan unik gadis ini, yaitu menunggang kerbau dan memanah (kerbau inilah nantinya yang menginspirasi para pemuda dari California itu untuk menungganginya). Obrolan penuh kemarahan antara Kiona dan Suwo tentang kesetaraan gender yang ideal agaknya hanya untuk menjembatani percik percik asmara dua sejoli itu. Tidak ada kelanjutannya. Selebihnya, Kiona hanya seorang gadis desa yang cuma bisa menangis dan menjerit ketakutan saat kakeknya dieksekusi Belanda. Bahkan dia hanya mengkerut ketika dijual pada tetamu bar antek-antek Van Traach.

Alasan Arana pulang ke Jawa untuk membalaskan dendam kematian sahabat sekaligus raja jawa, Hamzah. Anehnya, saat dia sekarat karena terkena peluru (dan kali ini bukan hanya lecet) malah berpesan pada dua ponakannya bahwa Hamzah bukanlah seorang pendendam.

Keris pusaka yang diwariskan ternyata hanya untuk perisai Jamar saat baku tembak. Tak ada nilai lebih. Tak ada juga "ikatan" dan penghubung dengan moyang masa lalu. Konflik mengenai dominasi kakak dan ketidakpuasaan seorang adik yang muncul di awal menguap entah kemana. Kalajengking juga tak memberi nilai tambah, selain hanya disebutkan sebagai binatang yang ditakuti Jamar. Kemunculan masa lalu dan seruni hanya untuk menghadirkan adegan "romantisme" Arana yang malah terasa gagal. Agaknya, Mike terlalu ambisius pada teknis sehingga lupa untuk mematangkan naskah.

BUKAN EPOS JAWA 

Buffalo Boys, jika dipandang sebagai film sejarah, maka akan banyak ditemukan kejanggalan, seperti nama tokoh Sultan, tokoh Van Traach, bahkan adegan dialog berlatar Candi Prambanan. Namun, agaknya film ini ingin dilihat sebagai film fantasi murni yang mengambil latar abad 19 di Jawa, yaitu masa penjajahan Belanda. Tidak disebutkan tahun kejadian terbunuhnya Sultan, Jawa bagian mana, dsbnya.

Meski begitu, penggunaan bahasa Inggris tokoh-tokoh Antagonis saat berdialog, alih-alih bahasa Belanda, tetap saja terasa ganjil. Belum lagi dialog tokoh-tokoh lokal yang terasa seperti terjemahan dari bahasa Inggris. Saya sedikit mengernyit ketika tokoh Jamar berujar pada pemilik toko, “Kalau ada satu hewan yang saya tidak suka, itu kalajengking!” atau saat Kiona diinterogasi oleh Fakar, dia berkata, "“Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dariku." Saya kira, film fantasi juga tidak seteledor itu menyajikan "dunia" baru dalam logika cerita.



Komentar