(Pernah diterbitkan di blog sebelumnya tanggal 7 Januari 2019. Itu kenapa film-film yang disebut rilis di tahun 2019)
Belakangan, industri bioskop berkembang bak jamur di musim hujan. Sebagai contoh, di kota Medan saja, Jaringan Lippo Group membuka beberapa layar Cinemaxx di pusat-pusat perbelanjaan. Terhitung ada 3 bioskop yang baru dibuka.
Pesaingnya, Cineplex, tak mau kalah. Bahkan Cineplex 21 Group berani melakukan ekspansi sampai ke pinggiran kota Medan yang (katanya) masih jauh dari keramaian. Badan Ekonomi Kreatif menyatakan bahwa Indonesia masih kekurangan layar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang kian besar.
Pesaingnya, Cineplex, tak mau kalah. Bahkan Cineplex 21 Group berani melakukan ekspansi sampai ke pinggiran kota Medan yang (katanya) masih jauh dari keramaian. Badan Ekonomi Kreatif menyatakan bahwa Indonesia masih kekurangan layar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang kian besar.
Dan voilla... mall paling sepi sekali pun perlahan menggeliat dan menjadi ramai dengan kehadiran bioskop-bioskop tersebut. Bisa dibilang, saat ini, bioskop menjadi salah satu alternatif hiburan dan rekreasi bagi masyarakat urban, mengingat fasilitas rekreasi lain seperti taman atau ruang terbuka hijau tak lagi memadai.
Sayangnya, perkembangan ini tidak melulu berefek positif. Animo masyarakat yang besar justru memunculkan masalah-masalah baru. Masalah yang paling mencolok, dan menjadi perhatian saya adalah anak-anak yang menonton film yang tidak sesuai kategori usianya.
FILM SUPERHERO TAK MELULU UNTUK ANAK-ANAK
Film Logan dibuka dengan adegan baku hantam di pinggiran kota pada tahun 2029 antara Wolverine tua dan sekelompok penjahat yang berusaha merampok limousine sewaannya. Ada adegan laga yang lumayan bikin jeri. Di dalam bioskop, beberapa penonton baru saja datang, sibuk mencari-cari kursi sesuai nomor tiket masing-masing. Kegaduhan itu ditimpali suara tangis anak yang mendadak pecah saat cakar adamantium Wolverine memenggal kepala salah satu kawanan antagonis. Saya sendiri memalingkan muka melihat adegan tersebut.
Di hari lain, film Deadpool 2 tayang perdana. Berhubung hari libur, antrian lumayan panjang. Saat masuk, studio sudah penuh dengan penonton, separuhnya berisi remaja belia dan anak-anak. Di barisan kursi H, saya melihat satu keluarga berjalanan beriringan, dua orang dewasa dan 3 orang anak-anak. Dari posturnya, saya taksir usia anak-anak itu tak ada yang mencapai dua digit. Anak yang paling belakang menenteng bungkusan popcorn berukuran besar. Iringan keluarga itu persis tengah berpiknik. Di samping saya terdengar bisikan, "film ini bagus loh, soalnya Marvel." Saya melirik. Dua remaja terlihat berbisik-bisik.
Adegan pembuka Deadpool, seperti sekuel sebelumnya, penuh kekerasan. Darah dan ocehan penuh makian. Sesekali, saya tertawa mendengar ocehan Ryan Reynold. Tapi tidak di barisan lain. Suasana mulai berisik. Ada suara jeritan anak-anak. Suara rengekan. Bangku saya terasa ditendang-tendang dari belakang. Mau tak mau saya menoleh. Seorang anak perempuan terlihat tidak nyaman di kursinya dan mulai melancarkan 'aksi protes' pada orang dewasa yang duduk di sampingnya.
Kejadian-kejadian seperti di atas beberapa kali saya alami. Saat menonton film Jurassic World, XXX atau Wonder Woman, dan masih banyak lagi. Sungguh, saya bingung. Segitu tidak sukanya kah para orang tua membaca sampai-sampai tidak memilah film apa saja yang layak ditonton anak-anak mereka? Melihat barisan antrian yang mengular di depan meja penjualan tiket membuat saya miris. Para orang tua tidak peduli atau ambil pusing akan label yang dicantumkan di poster film-film itu, seperti +17 Tahun atau label peringatan semacamnya. Yang jelas, film itu lagi booming maka wajib ditonton. Tak perlu melihat teaser atau membaca ulasan tentang film tersebut. Dan entah mengapa, saya curiga. Bahkan poster warna warni yang didesain sedemikian rupa itupun tak dibaca secara detail.
Agaknya, dalam pandangan mereka, kondisi ini sudah biasa. Dan para orang tua yang anak-anaknya membikin keonaran di dalam bioskop "meminta" pengunjung lain untuk maklum. Memang, seperti dalih mereka, menjadi orang tua itu berat. Orang tua pun butuh hiburan dan perlu merasa bahagia. Namun, dengan mengabaikan kebutuhan anak-anak dan fakta bahwa beberapa film tidak layak ditonton anak-anak (dan jelas-jelas disematkan di poster film) sungguh sangat egois.
Orang tua yang membawa anak-anak ke pusat keramaian, dan mengabaikan isyarat ketidaknyamanan si anak--dengan menangis--tidak lebih hebat dari orang yang memprotes keributan tersebut. Alangkah lucunya, dia meminta maklum kepada orang lain yang sudah dituduhnya tidak peka atau paham, namun menyerang perihal pribadi orang tersebut: karena belum menikah atau belum punya anak. Sungguh sangat kontradiktif.
Selain itu, tontonan yang tidak sesuai rekomendasi umur sangat berperan pada perkembangan mental seorang anak. Albert Bandura, seorang psikolog asal Kanada dan pencetus teori pembelajaran sosial, menyatakan bahwa anak-anak belajar dengan mengamati tingkah laku orang lain di sekitar lalu menirunya (disebut teori belajar modelling). Untuk menguatkan teori tersebut, Albert melakukan beberapa eksperimen, salah satunya yang terkenal "Eksperimen Bobo Doll", dengan menggunakan sebuah boneka yang terikat dan tontonan film. Dua orang anak di tempatkan di ruangan berbeda dengan kondisi yang sama dan perlakuan yang berbeda. Anak pertama di tempatkan di dalam ruangan yang memutar film laga, sementara yang kedua tidak. Sesaat kemudian, anak pertama meniru adegan dalam film laga dan melakukan hal yang sama pada bonekanya, sementara anak kedua yang tidak diberi tontonan hanya diam dan mengamati bonekanya. Bisa dikatakan, anak pertama lebih agresif daripada anak kedua.
Teori tersebut menjelaskan bahwa banyak aspek yang mempengaruhi perilaku seorang anak, salah satunya tontonan. Anak yang terpapar film penuh adegan kekerasan (dan tanpa bimbingan) berulang-ulang cenderung lebih agresif ketimbang anak yang tidak menonton film tersebut. Jadi, saat anak anda mengalami perubahan perilaku dan kasar, jangan keburu menyalahkan teman-temannya atau lingkungan, bisa jadi hal tersebutkan disebabkan tontonan yang--dengan seijin anda--diberikan padanya (selain meniru perilaku agresif orang tuanya yang nyolot pada orang yang terganggu dengan polah anaknya).
Memang, hak setiap orang untuk menonton dan mendapatkan hiburan. Apalagi regulasi dari pihak bioskop juga masih terbilang longgar. Tidak ada batasan usia pegunjung yang boleh menonton. Namun, sebagaimana tempat umum lainnya, ada norma atau kesepakatan tak terlihat yang membatasi hak seseorang terhadap orang lain. Ketika orang lain merasa terganggu, dia berhak mengutarakannya. Dan ketika kita berada di posisi menganggu, sebaiknya introspeksi. Bukan malah mengamuk dan menyerang orang lain dengan dalih dan maklumat yang tak masuk akal.
Adegan pembuka Deadpool, seperti sekuel sebelumnya, penuh kekerasan. Darah dan ocehan penuh makian. Sesekali, saya tertawa mendengar ocehan Ryan Reynold. Tapi tidak di barisan lain. Suasana mulai berisik. Ada suara jeritan anak-anak. Suara rengekan. Bangku saya terasa ditendang-tendang dari belakang. Mau tak mau saya menoleh. Seorang anak perempuan terlihat tidak nyaman di kursinya dan mulai melancarkan 'aksi protes' pada orang dewasa yang duduk di sampingnya.
Kejadian-kejadian seperti di atas beberapa kali saya alami. Saat menonton film Jurassic World, XXX atau Wonder Woman, dan masih banyak lagi. Sungguh, saya bingung. Segitu tidak sukanya kah para orang tua membaca sampai-sampai tidak memilah film apa saja yang layak ditonton anak-anak mereka? Melihat barisan antrian yang mengular di depan meja penjualan tiket membuat saya miris. Para orang tua tidak peduli atau ambil pusing akan label yang dicantumkan di poster film-film itu, seperti +17 Tahun atau label peringatan semacamnya. Yang jelas, film itu lagi booming maka wajib ditonton. Tak perlu melihat teaser atau membaca ulasan tentang film tersebut. Dan entah mengapa, saya curiga. Bahkan poster warna warni yang didesain sedemikian rupa itupun tak dibaca secara detail.
MENJADI TUA TIDAK HARUS EGOIS
Bahasan tentang polemik ini sempat ramai di media sosial "facebook". Seorang pengunjung bioskop menegur sepasang suami istri yang anaknya membuat keributan saat film diputar. Kedua orang tua itu malah marah dan berdalih: tidak apa-apa anaknya menangis, dia kan masih kecil dan tidak mengerti tata krama di tempat publik, sambil melempar tatapan sadis pada si penegur. Hanya orang yang belum menikah atau belum punya anak yang rewel dan protes akan tangisan anak-anak, omel mereka dengan pongah sekaligus minta simpati.Agaknya, dalam pandangan mereka, kondisi ini sudah biasa. Dan para orang tua yang anak-anaknya membikin keonaran di dalam bioskop "meminta" pengunjung lain untuk maklum. Memang, seperti dalih mereka, menjadi orang tua itu berat. Orang tua pun butuh hiburan dan perlu merasa bahagia. Namun, dengan mengabaikan kebutuhan anak-anak dan fakta bahwa beberapa film tidak layak ditonton anak-anak (dan jelas-jelas disematkan di poster film) sungguh sangat egois.
Orang tua yang membawa anak-anak ke pusat keramaian, dan mengabaikan isyarat ketidaknyamanan si anak--dengan menangis--tidak lebih hebat dari orang yang memprotes keributan tersebut. Alangkah lucunya, dia meminta maklum kepada orang lain yang sudah dituduhnya tidak peka atau paham, namun menyerang perihal pribadi orang tersebut: karena belum menikah atau belum punya anak. Sungguh sangat kontradiktif.
ANAK-ANAK MERUPAKAN PENIRU ULUNG
Menurut para dokter atau ahli anak, ruangan gelap dan audio yang keras bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak apalagi balita. Radiasi cahaya dari layar yang sangat besar juga tidak baik bagi penglihatan anak-anak. Itu sebabnya, beberapa menit setelah film diputar, biasanya anak mulai rewel dan gelisah karena merasa tidak nyaman.Selain itu, tontonan yang tidak sesuai rekomendasi umur sangat berperan pada perkembangan mental seorang anak. Albert Bandura, seorang psikolog asal Kanada dan pencetus teori pembelajaran sosial, menyatakan bahwa anak-anak belajar dengan mengamati tingkah laku orang lain di sekitar lalu menirunya (disebut teori belajar modelling). Untuk menguatkan teori tersebut, Albert melakukan beberapa eksperimen, salah satunya yang terkenal "Eksperimen Bobo Doll", dengan menggunakan sebuah boneka yang terikat dan tontonan film. Dua orang anak di tempatkan di ruangan berbeda dengan kondisi yang sama dan perlakuan yang berbeda. Anak pertama di tempatkan di dalam ruangan yang memutar film laga, sementara yang kedua tidak. Sesaat kemudian, anak pertama meniru adegan dalam film laga dan melakukan hal yang sama pada bonekanya, sementara anak kedua yang tidak diberi tontonan hanya diam dan mengamati bonekanya. Bisa dikatakan, anak pertama lebih agresif daripada anak kedua.
Teori tersebut menjelaskan bahwa banyak aspek yang mempengaruhi perilaku seorang anak, salah satunya tontonan. Anak yang terpapar film penuh adegan kekerasan (dan tanpa bimbingan) berulang-ulang cenderung lebih agresif ketimbang anak yang tidak menonton film tersebut. Jadi, saat anak anda mengalami perubahan perilaku dan kasar, jangan keburu menyalahkan teman-temannya atau lingkungan, bisa jadi hal tersebutkan disebabkan tontonan yang--dengan seijin anda--diberikan padanya (selain meniru perilaku agresif orang tuanya yang nyolot pada orang yang terganggu dengan polah anaknya).
PENUTUP
Memang, hak setiap orang untuk menonton dan mendapatkan hiburan. Apalagi regulasi dari pihak bioskop juga masih terbilang longgar. Tidak ada batasan usia pegunjung yang boleh menonton. Namun, sebagaimana tempat umum lainnya, ada norma atau kesepakatan tak terlihat yang membatasi hak seseorang terhadap orang lain. Ketika orang lain merasa terganggu, dia berhak mengutarakannya. Dan ketika kita berada di posisi menganggu, sebaiknya introspeksi. Bukan malah mengamuk dan menyerang orang lain dengan dalih dan maklumat yang tak masuk akal.Menjadi orang tua memang mulia. Namun, menjadi orang tua juga bukan kewajiban setiap individu. Ketika anda memilih menjadi orang tua, maka bertanggung jawablah. Jangan paksa orang lain ikut menanggung konsekuensi dari pilihan hidupmu itu.
Komentar
Posting Komentar