SENJA DI BULAN AGUSTUS

Biasanya mereka keluar saat senja, sewaktu matahari dan pantulannya meredup, dengan langkah mantap mereka menyusuri padang rumput dan menghirup udara penuh wewangian bunga. Tahun itu langit senja semerah darah; tiap sore matahari terluka lalu mati dan kematian itu, yang terus terjadi dari satu senja ke senja berikutnya, mungkin pemandangan terindah dalam kehidupan suram mereka. Rerumputan terbentang bermil-mil, di sana sini hanya gundukan jerami yang ditumpuk agar tidak terbang tertiup angin kencang. Waktunya para serangga beristirahat, udara pun menjadi tenang dan sunyi, seperti jalanan menjelang malam. Mereka berjalan jauh dan lama sekali--di sekitar mereka cerobong asap yang juga tampak dari beranda--lambat-lambat, dalam diam, seolah tengah melakukan beberapa tugas maha penting demi keselamatan keluarga.

Tak pernah aku mencoba menyusul mereka, hanya melihat dari teras saat bayangan mereka menyusut dan mengembang dengan latar cahaya kemerahan yang cemerlang.

Kami berempat makan malam dalam diam. Adakalanya Jaro bercerita tentang anak sapi yang pernah dikirimkannya ke tetangga atau tentang anjing tersesat dengan kaki terluka yang pernah diperbannya. Mereka makan seolah kalimat tak pernah memintas di bibir mereka, menatap piring-piring berisi kaldu atau sepotong daging tanpa ekspresi. Setelahnya mereka akan membisikkan ucapan terima kasih dan kembali ke gudang bawah tanah, lalu Jaro menutup pintu di belakang mereka.

Pagi hari kami bangun dengan lebih siaga, memakai pakaian kami, lalu menggosok gigi. Jaro telah memberi mereka masing-masing satu kaos tua dan celana. Mereka menerimanya tanpa sepatah kata pun, juga tak melihat pakaian-pakaian itu atau kami. Dari kepala yang tertunduk itu aku yakin mereka tidak tahu benda apa yang mesti dicuri meskipun mereka berniat melakukannya. Aku mencuci pakaian mereka di akhir pekan bersama dengan pakaian kotor lainnya. Musim panas berjalan lambat sekali, dan bulan Agustus menyeret langkahnya seperti truk usang penuh debu. Ini bulan terlama sepanjang tahun, sebuah periode yang terdiri dari ratusan ribu hari. Setelah rumah kami, jalanan tidak menuju ke mana pun dan orang yang lalu lalang juga sangat jarang, tapi aku tidak menjemur pakaian mereka di depan rumah.


Ketika mereka mengetuk pintu rumah kami sebulan yang lalu, hari masih sangat gelap. Jaro bangkit dari ranjang, terkantuk-kantuk, dan menyumpah, lalu mengambil pemukul kayu oak yang disimpan di balik pintu. Di bawah cahaya lampu teras, dia melihat dua orang lelaki kurus dan kotor.

Mereka pengembara dan tengah mencari penginapan malam itu. mereka akan pergi pagi-pagi sekali. 

Bagaimana mereka bisa sampai kemari? Kota terdekat jaraknya sekitar tujuh mil dari sini.

Mereka tersesat.

Jaro mengamati mereka dengan rasa curiga. Mereka tidak membawa apa pun.

Mengintip di balik punggung Jaro, aku berkata kalau mereka bisa tidur di kasur jerami di gudang bawah tanah, itu pun kalau mereka tidak keberatan. Jaro menoleh padaku, kaget. Mereka mengangguk. Dalam diam, Jaro menunjukkan tempatnya, dan ketika mereka berbaring, pelan-pelan dia mengunci pintu gudang. Sejenak dia berdiri mematung di depan pintu, lalu mendekat padaku dan menatap marah dengan mata yang bengkak di bawah alisnya yang lebat itu. Aku mundur. Tak berapa lama dia berbalik dan pergi tidur. Kami tertidur di sisi ranjang masing-masing. 

Hari berikutnya mereka bertanya apa mereka bisa tinggal sehari lagi. Pedalaman ini sangat indah, dan mereka ingin beristirahat dari rutinitas pekerjaan. Jaro tetap diam. Mereka akan membayar biaya penginapannya. Tapi rambut-rambut yang dicukur, wajah-wajah yang pernah merasakan angin dasyat, dan lelah, serta pakaian yang dipadukan dengan sembarangan itu menyangkal semua ucapan mereka. Satu hari menjadi dua hari, dan dua hari menjadi seminggu. 


Ketika Jaro dan aku menikah enam belas tahun yang lalu, sifat kami masih kekanak-kanakan, baru lulus dari jurusan dokter hewan dan bercita-cita menyelamatkan segala binatang di dunia ini dengan tenaga dan keinginan yang tak habis-habisnya. Apa pun ide yang muncul dalam pikiran kami, tampak begitu murni dan cemerlang. Itu sebabnya ketika ide pergi ke India muncul, kami pun melakukannya. Kami telah mendengar dan membaca tentang kondisi mengenaskan negara itu, tentang penyakit, kelaparan, tingkat pengangguran yang tinggi, dan kekurangan tempat tinggal. Kami juga mendengar tentang kebun tehnya, yang menghijau di sepanjang perbukitan, tentang pulau karang dan danau di tengah-tengahnya yang berada di pantai barat daya, tentang dataran sungai Gangga Hindustan di mana beras dan gandum tumbuh subur dan berlimpah-limpah, tentang hujan lebat yang dibawa angin serta kera-kera dan katak-katak yang hanya ada di sana. Kami berencana membawa penghasilan sebagai dokter rumah sakit, lalu melompat ke Dayne tua Jaro yang berusia dua puluh tahun dan terbang melintasi Budapest, Bucharest, Veliko Tarnoyo, lalu Ankara ke Istafan di Iran dan Hyderabad di Pakistan kemudian mendarat di Bombay. Kami berharap merasakan ruh kehidupan di sana, menyatu dengan alam dan melakukan pekerjaan yang sebenarnya. Kami sama sekali tidak tahu apa di sana akan menemukan pekerjaan atau akan menetap di mana, tapi kami berharap dengan kelimpahan fauna di India kami tidak hanya menyelamatkan hewan-hewan, tapi juga meneliti kehidupan kijang, rubah Bengali, dan kera Hanuman. Kami melakukan banyak persiapan. Menyimpan peta negara, wilayah, dan kota-kota di India dan menandai tempat-tempat itu lewat stasiunnya—tempat untuk tidur, membeli gas, dan mendapatkan air bersih. Kami mendapatkan vaksinasi malaria, difteri dan tipus. Meskipun orang tua kami keberatan, kami tetap terbang pada satu pagi berkabut menuju perbatasan Hongaria. Dua hari kemudian, Dyane menghembuskan napas terakhir di jalanan menuju Budapest, di tengah-tengah lahan kuning. Mungkin itu petualangan terbesar Dyane. Kami kembali ke Zagreb dalam kebingungan dan mengalah beberapa bulan, berpura-pura mencari pekerjaan. Lalu, mendadak, kami “mengejek” orang tua kami lagi dengan rencana hebat: membuka klinik hewan sendiri. Saat itu tahun 1990, masa kebangkitan  pemodal swasta di Kroasia. Kota itu melihat penambahan klinik-klinik swasta untuk pengobatan masyarakat, tapi klinik hewan jarang terdengar dan terkesan berani. Lewat sebuah iklan kami menemukan tempat yang pas di jalan Selska dan menggunakan uang yang kami pinjam dari para orang tua untuk membangun laboratorium biokimia, ruang operasi, mesin X-ray, peralatan sterilisasi, dan ruang tunggu dengan toko kecil yang menjual makanan hewan dan obat-obatan. Kami mengiklankan klinik kami lewat obrolan dan teman-teman kami membantu menyebarkannya. Jaro dan aku tenggelam dalam bisnis itu. Kami mendapatkan pelanggan lewat kenalan kami, brosur yang kami sebarkan, dan malam-malam kerja. Pada awalnya kami hanya mendapatkan sedikit pasien, di antaranya katak, anjing Terrrier, anjing Labrador, kucing Siam dan kucing-kucing biasa lainnya, kelinci Angora, dan kakatua. Tapi waktu tidak berpihak pada kami dan binatang-binatang di Kroasia jarang sakit. Kurang dari setahun kami pun menutup klinik karena tidak sanggup membayar sewa.

Beberapa bulan berlalu dan Jaro mendapat pekerjaan di klinik hewan pemerintah di Zlatar, kota kecil yang berjarak lima puluh mil dari Zagreb. “Kau akan mendapat pekerjaan juga di sana. Tidak ada pelamar kerja di sana karena tiap orang ingin mendapat pekerjaan di Zagreb. Ayolah, begitu uang kita cukup, kita akan membuka klinik lagi.” Meskipun Zlatar bukan tujuan yang diimpi-impikan, tapi cukup menyenangkan. Seakan kota itu disentuh sesuatu yang tidak dapat dijelaskan sehingga tetap segar.


“Kita akan baik-baik saja,” kata Jaro. Rumahnya bisa dikatakan baru, perabotnya juga baru, dan si pemilik berkata dia akan menjualnya pada kami dengan harga rendah. Rumah itu sangat cantik, dengan kamar tidur yang luas di lantai dua dan dapur di lantai dasar. Aku akan memulai kehidupanku di sini, gumamku sendiri. Alam membentang di sekeliling, warna hijau, putih, kuning membaur di tanah dan pepohonan. Lahannya membentang luas yang terlihat seperti dunia yang bisa kau jelajahi dan kembali di wilayah yang berbeda.

Segera aku berkenalan dengan toko-toko di Zlatar, salon, pasar, dan para pramuniaganya. Toko bahan pokoknya lebih murah ketimbang di Zagreb dan orang-orangnya lebih ramah. Jaro bekerja sepanjang hari dan pulang menjelang malam, kelelahan. Aku berteman dengan tetangga yang tinggal di jalan masuk menuju rumah kami. Istrinya, Jana, mulai berkunjung untuk minum kopi bersama kami, dan membawakan keju buatannya sendiri. Tidak ada keriuhan, tapi ada hal-hal menarik dalam ketenangan yang membungkus hari-hariku. Tekanan yang mengikuti karena usaha kami sebelumnya telah hilang.

Setelah beberapa lama, aku sadar tidak akan mendapat pekerjaan sesuai bidangku. Kukatakan pada diri sendiri kalau itu tidak penting lagi. Pemandangannya, yang mengubah warna-warnanya secara berkala sepanjang tahun, cukup menarik untuk saat itu.

Sekarang aku menghabiskan tiap pagi memperhatikan mereka yang keluar untuk sarapan dalam diam dan menunggu dihidangkan telur goreng dan lemak babi. Mereka tidak pernah mengamat-amati sekeliling atau bertanya, rumah tempat mereka tidur ini tampaknya tidak menarik. Tangan mereka yang kasar jarang terlihat di atas meja sebelum makanan dihidangkan. Wajah mereka tanpa berekspresi, tidak sedikit pun petunjuk dalam tampilan kasar itu yang bisa disebut emosi; seolah mereka ingin melupakan kalau mereka manusia. Jaro yang pertama selesai makan, lalu pindah ke sudut ruangan, dan mengamati mereka dari sana. Mereka duduk, dan tidak mendongakkan kepala. Ketika selesai makan, mereka akan kembali ke gudang bawah tanah dengan cara yang sama ketika muncul—tanpa sepatah kata pun. Kemudian Jaro pergi bekerja. Siang hari berjalan sama seperti paginya, jam demi jam, tertekan oleh keheningan yang memuakkan. Ketika mengepel lantai, aku akan berjongkok di depan pintu gudang bawah tanah itu dan menyimak dengan sungguh-sungguh. Tapi tak terdengar suara apa pun dari bawah sana. 

Lalu satu sore Jaro pulang kerja dengan membawa koran yang halaman depannya berbunyi “Dua tahanan penjara Lepoglava masih buronan.” Jaro bahkan tidak melihat padaku, dia hanya menaruh koran itu di atas peti laci yang gampang terlihat. Sepanjang hari, kami berdua melintasinya tanpa berkata apa-apa dan tiap kali pula pandangan kami terbentur pada huruf-huruf hitam itu. Pada akhirnya, aku mengambil koran itu, melipatnya, dan meletakkannya di rak di atas peti. Jaro mengambilnya, membuka halaman depan, dan mengembalikannya ke atas peti. Aku hendak mengambil untuk meletakkannya lagi di atas rak, tapi Jaro menghentikanku.

“Aku ingin koran ini terlihat.”

“Aku sudah cukup melihatnya. Lagipula, sebentar lagi mereka akan datang untuk makan malam.”

“Tepat sekali, biar mereka melihatnya,” Jaro berteriak.

“Melihat apa? Apa kau gila?”

“Aku ingin mereka tahu!” Dia berteriak kian kencang.

Tak berapa lama mereka menjejaki tangga dengan hati-hati, dan tanpa sepatah kata, mengambil tempat di meja makan. Aku menaruh mangkuk di depan mereka dan menuang sup kedelai. Kami semua makan dengan diam. Setelah suapan ketiga, salah seorang yang duduk mengarah ke peti melihat koran itu. Pandangannya berhenti sebentar di sana, lalu mengarah ke piringnya lagi dan, setelah satu suapan, memandang wajah kami. Tatapannya tenang, nampak tidak gelisah. Kaus Jaro yang kebesaran menggantung di pundaknya yang kurus. Jaro membalas tatapannya. Dia bersusah payah mengunyah sosisnya. Sendok terangkat dan jatuh. Tangan besar pada jam di dinding bersusah payah melaju. Menelan suapan terakhir, orang yang mengenakan kaos Jaro itu memandang kami lagi dan berterima kasih atas makan malam yang lezat.

Cerita tentang polisi yang menyisir area terdekat, semak-semak, dan hutan mulai beredar. Mereka mencari di pinggir alur sungai, dan mengetuk beberapa pintu. Orang-orang bilang para buronan itu tidak mungkin pergi jauh karena kalau begitu sudah pasti akan ada laporan mobil yang dicuri. Bar kota diperkirakan menjadi tempat persembunyian mereka. Banyak yang heran mengapa anjing-anjing polisi itu belum menemukan mereka. Jaro semakin jarang datang ke kota, dia menghindari tetangga dan hanya pergi rumah kami ketika teman-teman kami memohon bantuan untuk menangani binatang.

Ketika dia mendapat telepon dari Simun di Donji Breg, pemilik kuda betina yang akan melahirkan, Jaro dengan wajah merengut duduk di meja makan dan dan menggerus bara rokok hitam ke taplak meja.

“Apa kau akan pergi?” Tanyaku.

“Urus saja masalahmu sendiri,” dia membentak.

“Kuda itu bisa mati.”

“Kau pikir apa yang kulakukan sekarang ini salah?” dia menatapku marah.

Aku meninggalkan ruangan itu dan duduk di serambi. Serambi itu perbatasan duniaku. Meski alam dan kekuatannya membuatku takjub, tapi aku tidak pernah lagi berjalan-jalan ke hutan. Tidak ada lagi yang perlu diamati di sekitaran rumah. Matahari menyelidiki bumi; di atas latar merah tua, di kejauhan, aku melihat dua bayangan berjalan pelan di antara rerumputan, seolah tengah memastikan kalau bunga-bunga itu memang terselip di rerumputan yang tumbuh di area luas dan dihuni oleh tikus dan belalang. Langit kembali bergejolak dengan darah hari itu. Matahari melakukan kejahatan baru tiap kali terbenam.

Satu minggu lagi berlalu. Polisi mencari di sekitar hutan dan perlahan mempersempit area pencarian. Mereka mengumumankan kalau para buronan itu akan segera ditemukan. Satu kali mereka hampir menangkap buronan itu ketika Kata dari Kardasevec, memanggil polisi saat tengah malam karena mendengar langkah kaki di luar rumahnya. Sayangnya, para polisi itu terlambat datang dan hanya memergoki seekor kelinci di dapur.

Sore itu di meja tersaji ayam panggang dan diisi kentang. Jaro bercerita pada kami tentang anak kuda Simun yang telah ditolongnya, putih dengan bintik hitam di moncongnya. Dua orang itu makan, sambil mendengarkan. Cerita Jaro disela oleh bunyi bel pintu. Jaro dan aku saling berpandangan lalu melihat ke arah mereka. Mereka masih terus makan dengan diam. Jaro perlahan bangkit dan berjalan ke arah pintu.

Kabar terakhir yang terdengar kalau Sersan Slaven tidak bisa percaya akan penglihatannya sendiri saat melihat para buronan itu duduk tenang, makan besar di rumah kami. Menurut cerita para polisi berdiri di depan pintu tak sampai semenit dan melihat pemandangan itu, dan katanya pula, Jaro mengundang mereka ikut makan malam karena hidangan itu merupakan ayam paling besar dari peternakan kami. Aku hanya ingin menyampaiakn kalau para buronan itu tidak melakukan perlawanan sama sekali, mereka diam saat diborgol dan dibawa masuk ke mobil polisi. Saat berjalan keluar, salah satu dari mereka menatapku dengan tatapan akumulasi dari hidup tanpa harapan yang tertekan di antara empat dinding.

***

"Suton u kolovozu" by Ivana Rogar. Words without Borders
 

Komentar