Judul: Arok Dedes
Oleh: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Cetakan: April 2009
Isbn: 9789793820149
Dari pandangan sekilas, ia mengetahui, semua orang mendengarkan Arok. Jantungnya mendenyutkan perasaan tak rela. Ia, seorang brahmani, yang tertinggi di antara semua yang ada, namun tak satu orang pun mendengarkan suaranya. Pandangnya tertuju pada Umang; seorang gadis prajurit, berbibir tebal dan bermata kecil, dan kurus, matanya menyala memerhatikan segala yang terjadi.
“Aku, Dang Hyang Lohgawe, dengan petunjuk Hyang Mahadewa telah benarkan dia, Arok, menjadi Akuwu Tumapel, semua kawula Tumapel, berilah hormat pada Akuwu baru ini....”
Ia melihat, kecuali Dang Hyang Lohgawe dan Tantripala, semua berlutut dan mengangkat sembah pada Ken Arok, juga para tangkapan. Tekanan berat memaksanya turut berlutut di hadapan umum sambil mengangkat sembah. Ia sadar, riwayatnya sebagai pemegang kekuasaan sekaligus dewi kebijaksanaan telah selesai, dan justru karena itu ia merindukannya.
Ia mendengar Lohgawe berkata lagi,
“Dalam kemenangan, kalian semua telah memberikan dharma, juga Paramesywari Tumapel, anak Mpu Parwa, Ken Dedes. Yuddhagama tidak membenarkan ia menjadi jarahan perang. Paramesywari bersama kalian dalam pergulatan ini. Karenanya Ken Dedes tetap Paramesywari Tumapel.”
“Umang, Paramesywari!” Dia menggigil mendengar teriakan itu, tepat dari sisi Umang.
“Umang Paramesywari!” sambut semua pasukan. “Umang! Umang! Tidak lain dari Umang.”
Air mata mengalir di pipinya. Ia merindukan ayahnya, berharap pengaruhnya akan menyelamatkan kedudukannya. Ia tak rela di dunia ini ada seorang Umang, perempuan sudra dengan perlengkapan perang sebagai penghias, sedang pada badannya, berkilauan perhiasan emas dan intan. Dadanya sesak. Ia tak dapat menahan hati dan menangis tersedan-sedan. Tak seorang pun memerhatikan dan menghormatinya. Kenikmatan kekuasaan itu mendadak lenyap dari tangannya, jatuh pecah-belah di lantai. Ia merasa sebatang kara di tengah-tengah keriuhan ini, seorang yatim piatu di tengah-tengah padang batu. Ia melihat kekuasaan itu tanpa semaunya telah beralih tangan pada Arok dan Lohgawe.
Ia mengenangkan lagi peristiwa itu, saat pertama kali sampai ke tempat ini. ketika itu, ia baru sadar dari pingsan, tubuhnya dibopong diturunkan dari kuda, dibawa masuk ke ruangan besar, bilik Paramesywari. Ia digeletakkan di atas peraduan, dan orang yang menggotongnya itu, Tunggul Ametung, berdiri mengawasinya. Saat itu ia hanya gadis tak berdaya yang dibawa paksa masuk ke istana yang penuh kebencian. Ia sama sekali tak memintanya. Sekuat-kuatnya ia meyakinkan diri, ia, Dedes tidak akan mati oleh racun seperti Amisani. Sumpahnya kala itu;
“Ayah, sekarang ini sahaya kalah menyerah. Dengarkan sumpah sahaya, sahaya akan keluar sebagai pemenang pada akhir kelaknya.”
Dedes memandang sekelilingnya sekali lagi. Hatinya rusuh. Ia tahu, kemenangan itu tidak dipersembahkan kepada dirinya. Ia tidak yakin Arok akan mendudukkan Hyang Siwa pada cakrawartinya. Sejak pertama kali menduduki kekuasaan, dia telah membawa serta orang Wisynu, Buddha, Tantrayana dan Kalacakra, orang-orang bodoh yang hanya menyembah leluhur
Ia, yang semula menyerah kalah, mesti menyerah kalah lagi, kali ini pun disebabkan ketidakberdayaannya menghadapi permainan nasib.
...
Cerita Ken Arok yang melatarbelakangi berdirinya Kerajaan Singosari pertama kali disiarkan dalam Serat Pararaton dalam bentuk dongeng dan diperuntukkan bagi masyarakat Jawa Kuno yang banyak menganut kepercayaan Hindu. Dalam serat tersebut disebutkan bahwa Ken Arok membunuh Tunggul Ametung demi mendapatkan Ken Dedes dengan keris yang dibuat oleh Mpu Gandring setelah sebelumnya membunuh Mpu tersohor itu. Konon serat ini menjadi acuan dalam penulisan sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Namun berbeda dengan yang tertulis di buku-buku sejarah saya semasa sekolah, roman ini tidak mengisahkan cerita irasional berbau mistik; kutukan keris tujuh turunan yang ditulahkan Mpu Gandring pada Arok. Kisah ini murni tentang pertikaian politik dengan segala macam intrik, yang melibatkan banyak aktor dari berbagai kalangan (tak hanya para elit politik, namun juga para kaum pemuka agama) dengan ambisi masing-masing; Arok, Dedes, Tunggul Ametung, Belangkaka, Lohgawe, Mpu Gandring, Kebo Ijo. Lohgawe yang menjadi penggagas dari rencana kudeta licik menggunakan Arok--seorang pemuda berkasta sudra namun memiliki pengetahuan tinggi laiknya seorang bhramana, yang sejak kecil melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa Tumapel dengan merampas upeti-upeti yang diantar ke Kerajaan Kediri—sebagai alat pencapai tujuan. Ia memesankan pada Arok untuk menjatuhkan penguasa Tumapel bukan dengan tangannya sendiri. Belangkaka, seorang Mpu titipan Raja Kertayasa di pakuwuan, yang berperan menjadi penasihat Akuwu sekaligus penanda kekuasaan Kediri di Tumapel, mempunyai rencana sendiri terhadap masa depan Tumapel. Lalu ada Kebo Ijo, pemuda pongah akan darah Satria dalam tubuhnya hingga lupa berawas diri. Sementara Mpu Gandring, seorang pembuat senjata tersohor yang bersekutu dengan Dadung Sungging dan para Tamtama Tumapel untuk bangkit menjadi penguasa Tumapel selanjutnya. Namun dari sekian banyak tokoh tersebut, sosok Dedeslah yang menurut saya sangat menarik untuk disimak.
Mengapa Dedes?
Karakter kepahlawanan secara mutlak diberikan kepada Ken Arok. Ia, pemuda dengan segudang kecakapan, baik dalam bidang keagamaan, taktik perang, atau pun memimpin pergerakan rakyat dari berbagai kalangan. Ken arok itu seperti tokoh Robin Hood, yang dicintai rakyat namun dibenci penguasa. Sementara Tunggul Ametung, salah satu tokoh antagonis yang paling tidak disukai. Ia, adalah penguasa yang menaiki tahta dengan cara kotor, menculik perempuan yang diinginkannya, merampas harta benda rakyat, dan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaan. Banyak pihak menghendaki kejatuhan Tunggul Ametung demi menginginkan kehidupan yang lebih baik. Sosok Dedeslah yang mewakili wilayah abu-abu, tidak semata hitam atau putih.
Ken Dedes dikenal sebagai perempuan dengan kecantikan yang sangat memesona. Angin bertiup dan kainnya tersingkap, memperlihatkan pahanya yang seperti pualam, bersinar, cerlang, mendesirkan hati Arok. Dalam Serat Pararaton disebutkan bahwa Ken Dedeslah pemicu peristiwa kudeta berdarah di Tumapel. Bermula dari peristiwa Arok melihat Ken Dedes yang tengah menuruni kereta lalu terpesona oleh kecantikannya. Arok pun membunuh Tunggul Ametung dengan keris buatan Mpu Gandring demi bisa menikahi anak Mpu Parwa itu dan menjadi penguasa di Tumapel.
Namun dalam roman ini, Ken Dedes digambarkan bukan sekadar sebagai obyek atau alasan pembunuhan terhadap Tunggul Ametung. Justru ia adalah salah satu pemain dari banyak aktor dalam kudeta tersebut. Meski tidak menggunakan sudut pandang Dedes secara keseluruhan seperti tokoh Drupadi dalam Istana Khayalan karya Cithra Baneerje Divakaruni, namun porsinya tidak lebih kecil dari tokoh utama lainnya. Dedes tidak digambarkan sebagai sesuatu yang diam atau bersifat pasif--yang hanya menonton pertarungan dari jauh sambil harap-harap cemas, dirinya akan jatuh ke tangan siapa—tapi ia menjadi salah satu pemain yang turut dalam kancah pertarungan, menyusun taktik dengan caranya sendiri, sambil membulatkan tekad agar dapat menjadi jawara.
Dedes mengalami transformasi; dari seorang bhramani dari desa Panawijil menjadi pramesywari yang disembah di seluruh pakuwuan Tumapel. Ia menyimpan ambisi besar, takkan membiarkan dirinya mati sia-sia dalam keputusasaan atau mati tercekik aura kedengkian yang begitu pekat di pakuwuan. Ia tahu bahwa ia bukan dewi Sinta yang tahan menderita, yang tidak bersedia memberikan diri dan hatinya demi kesetiaan. Ia memilih menyebut dirinya Banowati bagi Hyang Durga, yang harus menjadi pramesywari demi mengembalikan cakrawarti Hyang Durga di jagad Pramuditha.
Ken Dedes adalah pribadi yang utuh. Kompleks. Dia membenci Tunggul Ametung namun mulai menikmati kekuasaan sebagai pramesywari di selingkupan Pakuwuan Tumapel. Dia mengutuk hari ketika diculik namun perlahan mensyukuri detik perpisahan antara Dedes anak brahmana tiada arti menjadi Ken Dedes sang Pramesywari. Selama di pakuwuan, hatinya rusuh dan dipenuhi duka cita, namun ketika mesti berbagi tempat dengan orang lain, Dedes justru tersedan. Ia memandang rendah Tunggul Ametung sebab meski akuwu tersebut seorang satria namun bermuasal dari kasta sudra, tak lebih tinggi darinya yang berdarah Bhramana. Namun dia justru mencintai Ken Arok, yang juga berdarah sudra.
Dan kutipan di bawah mungkin akan menjelaskan dengan rasional, apa yang menyebabkan tragedi berdarah terus mengikuti keturunan Ken Arok hingga tujuh turunan.
Ia mengerti Ken Arok mempunyai cara berperang tanpa membuka gelar, tidak seperti para satria sebelum ini. Dan dengan cara-cara berperang itu ia takkan mungkin terkalahkan. Keselamatan dan keagungan Tumapel terjamin di dalam tangannya. Hanya ia sendiri kehilangan tempat di samping suami yang dicintainya, kehilangan balatentara yang dapat diperintahnya, kehilangan kepercayaan dari orang tua yang dicintai dan dipujanya setulus hati. Dan dalam kandungannya seorang bayi, anak dari musuh suaminya, sedang menunggu giliran untuk jadi berkuasa atas Tumapel. Dan paramesywari lain itu, juga sedang mengandung. Juga dalam kandungannya seorang bayi sedang menunggu giliran untuk jadi penguasa atas Tumapel. Dan bayi itu adalah anak Ken Arok yang menang atas Tumapel. Bayinya adalah anak dari yang dikalahkannya.
Ia pejamkan dan kedipkan mata. Ia lihat kegelapan di hadapannya, dan ia tidak rela. (Hal. 553)
Komentar
Posting Komentar