TO KILL MOCKINGBIRD



JUDUL: TO KILL MOCKINGBIRD
OLEH: HARPER LEE
PENERBIT: QANITA (OKTOBER 2010)
536 HALAMAN


To Kill Mockingbird ditulis oleh Nelle Harper Lee, dan diterbitkan pada 11 Juni 1960. Novel ini merupakan satu-satunya karya Harper Lee dan mendapat penghargaan Pulitzer (salah satu penghargaan literatur tertinggi di Amerika Serikat) untuk fiksi pada tahun 1961. To kill Mockingbird bercerita tentang kehidupan masyarakat Maycomb County, Alabama sekitar tahun 1930, suatu masa ketika dunia tengah mengalami depresi ekonomi. Novel yang mengangkat tema humanis ini menggunakan seorang gadis kecil sebagai narator. To Kill Mockingbird diadaptasi menjadi sebuah film yang berjudul sama pada tahun 1962. Novel ini diganjar predikat "Best Novel of the Century" dalam jajak pendapat oleh Library Journal pada tahun 1999.

SINOPSIS:
Keluarga Finch--yang terdiri dari Atticus, Jeremy, Scout, dan Calpurnia, seorang koki berkulit hitam yang juga berperan sebagai pengasuh Jem dan Scout--tinggal di tengah perumahan kota Maycomb. Keluarga ini bertetangga dengan keluarga Radley yang misterius, Ms Maudie Atkinson, dan Mrs Dubose. Pada suatu musim panas, Jem dan Scout berkenalan dengan Dill. Dill banyak bicara dan (terkadang) membual, namun Scout selalu menantikan kedatangannya. Mereka kerap bermain dan berpetualangan bersama, seperti melakukan komunikasi (unik) dengan Arthur Radley yang tidak pernah keluar dari rumahnya. Menurut kabar yang beredar, sepanjang hidupnya, Boo dipasung dan dikurung di dalam rumah dan tak sekalipun terlihat muncul di tengah keramaian.

Jean Louis Finch atau yang sering dipanggil Scout berusia delapan tahun ketika Atticus menyatakan kesediaannya untuk menangani kasus Tom Robinson. Usia yang terbilang masih sangat muda untuk mengerti mengapa teman-teman dan sebagian besar warga kota Maycomb mendadak memusuhi ayahnya, Atticus Finch yang berprofesi sebagai pengacara dan membuka praktik hukum di Maycomb County.

Sejak dulu Atticus menangani banyak kasus tanpa memilih siapa-siapa yang dapat menjadi kliennya. Dia tidak memedulikan bila bayaran yang diterimanya sangat kecil, tak jarang hanya berupa sekarung kacang hickory, sekarung lobak atau tumpukan kayu bakar. Namun kali ini, kasus yang ditangani ayah Scout (sepertinya) agak berbeda dari kasus-kasus sebelumnya. Atticus tidak hanya menentang satu atau dua orang saja, tetapi juga sebagian besar penghuni kota Maycomb. Jem dan Scout merasakan dampak dari keputusan ayah mereka yang bersedia membela seorang pria kulit hitam yang dituduh memerkosa dan menganiaya perempuan kulit putih, Mayela Ewell. Scout berkali-kali terlibat perkelahian dengan teman-teman di sekolahnya, bertengkar dengan sepupunya, Francis, sementara Jem sampai harus menjalani hukuman mengunjungi dan membacakan cerita bagi Mrs Dubose karena dia telah merusak kuncup-kuncup semak kamelia milik perempuan tua itu. Scout sama sekali tidak mengerti, ketika dia sekuat tenaga membela Atticus dari cemoohan orang lain, ayahnya itu justru memintanya untuk tidak berkelahi. Kata Atticus:

“Ada beberapa alasan,” kata Atticus. “Alasan utamanya, kalau aku tidak membelanya, aku tak akan bisa menegakkan kepalaku di kota ini, aku tak akan bisa mewakili County ini dalam badan legislatif, aku bahkan tak bisa melarangmu atau Jem melakukan sesuatu.” (Hal. 152)


“...Kasus ini, kasus Tom Robinson, menyangkut hakikat nurani manusia—Scout, tak ada gunanya aku pergi ke Gereja dan beribadat kepada Tuhan kalau aku tidak mencoba menolong dia.” (Hal.205)


“tetapi sebelum aku mampu hidup dengan orang lain, aku harus mampu hidup dengan diriku sendiri. Satu hal yang tidak tunduk pada mayoritas adalah nurani seseorang.” (Hal. 206).


Sepanjang proses pengadilan, Keluarga Finch mendapat banyak teror dari warga kota yang marah karena menganggap Atticus bersikap tidak adil dan tega menghancurkan eksistensi kaum mayoritas. Bahkan ketika Juri telah memutuskan bahwa Tom Robinson bersalah, Bob Ewell meludahi muka Atticus dan melakukan teror yang hampir membahayakan nyawa Jem dan Scout.


ULASAN:
 Alur novel ini bergulir lambat dan agak datar. Bahkan ketika kasus Tom Robinson mulai muncul di bab sembilan, cerita seperti tanpa gejolak. Seolah-olah isu yang dibahas bukan hal yang besar, dan tidak lebih menarik dari keingintahuan Scout, Jem dan Dill tentang keberadaan Boo Radley yang misterius itu. Sebagai narator dalam novel ini, Scout banyak bertutur tentang latar belakang kota Maycomb, kondisi warga kota, polah para tetangga, keluarga dan teman-temannya. Saya sendiri merasa takjub akan kepiawain Lee menyajikan detail-detail tersebut sehingga setiap tokoh tidak lagi berjarak dengan pembaca. Pembaca merasa “dekat” dan mengenal para tokoh, seperti Atticus, Calpurnia, Jem, Scout, Dill, Maudie, Mrs, Dubose, Hakim Taylor, Mayela, Bob, Cunningham bahkan guru Scout, Miss Caroline yang hanya disebut sebentar di awal cerita. Detail penokohan dilengkapi juga dengan uraian panjang tentang Maycomb County pada kisaran tahun 1930 yang menjadi setting cerita ini.

Hal pertama yang muncul di kepala saya ketika membaca novel ini adalah pertanyaan; mengapa Lee menggunakan Scout sebagai Narator?

Mungkin Lee ingin menghasilkan karya yang menarik dengan mengambil sudut pandang anak-anak untuk membahas isu berat seperti rasialisme ini, kata teman saya, mencoba menanggapi pertanyaan saya. Tapi mengapa bukan Jem, tanya saya lagi. Atau Dill, timpal saya kemudian sebelum teman saya itu berhasil menemukan jawaban yang memuaskan. Tokoh Dill yang banyak bicara dan membual itu, sama menariknya dengan Scout.

Mungkin saja, Lee memilih sudut pandang Scout karena pikiran anak perempuan itu masih polos, murni, dan memandang segala sesuatu dengan lurus. Novel ini (mungkin) akan menjadi cerita penuh provokasi yang sarat dengan penghakiman akan hal yang (dianggap) salah bila menggunakan sudut pandang Atticus atau Calpurnia. Sementara Jem, meski masih kanak-kanak tapi dia tengah memasuki fase “gelisah”. Gelisah dalam arti, mulai melihat dunia bukan semata hitam dan putih. Gelisah dan merasa terluka ketika melihat ketidakadilan dan kesewenang-wenangan di depan matanya. Jem hampir terlihat menyerupai Atticus, akan tetapi dengan emosi yang meledak-ledak. Bisa dibayangkan bukan, bila menggunakan sudut pandang Jem, novel ini akan berisi kalimat-kalimat kutukan dan kecaman akan tindakan rasialis para warga Maycomb.

Lewat sudut pandang Scout inilah, cerita To Kill Mockingbird mengalir indah, penuh pesan moral namun tidak terkesan menggurui. Pembaca tidak lantas dipengaruhi untuk menghakimi suatu kelompok tertentu dan secara membabi buta membela kelompok lain yang dianggap benar.

Mockingbird sendiri merupakan metafora dalam novel ini. Mockingbird bisa digambarkan sebagai keberadaan bangsa kulit hitam yang sama sekali tidak merugikan kaum mayoritas kulit putih. "Mereka tidak memakan tanaman kebun orang, tidak bersarang di gudang jagung, mereka tidak melakukan apapun kecuali menyanyi dengan tulus untuk kita. Karena itulah, membunuh mockingbird itu dosa." Mockingbird bisa juga diumpakan sebagai pemikiran kanak-kanak yang masih murni, polos dan belum terkontaminasi oleh pikiran-pikiran jahat, seperti prasangka, rasialis, tipu muslihat dan sebagainya. Dan pikiran-pikiran murni itu yang semestinya dijaga untuk keseimbangan dalam kehidupan sosial manusia.

Akhir kata, empat bintang buat Harper Lee yang telah menuliskan kisah indah ini. Empat bintang untuk hasil terjemahannya yang nyaman dan membuat betah saya untuk terus membaca kisah ini hingga tuntas.


Komentar