JUDUL : PEREMPUAN, RUMAH KENANGAN
PENULIS : M AAN MANSYUR
PENERBIT : INSIST PRESS (2007)
TEBAL : 186 halamanApakah buku ini sebuah fiksi? Atau sekadar otobiografi si penulis? Saya pikir kedua-duanya. Dengan bab pembuka yang berjudul "Suatu Pagi di Tahun 2022" dan bab penutup yang diberi judul "Suatu Senja di Tahun 2022", pembaca tahu bahwa buku ini hanya sebuah fiksi. Tapi si penulis mengakui dalam pengantar bahwa novel ini merupakan bayaran atas kesalahannya yang selalu malas pulang, menjenguk kampung dan masa lalunya. Buku ini berkisah tentang masa kecil Aan di antara perempuan-perempuan di sekelilingnya.
Aku adalah lelaki berdada perempuan. Itu tulisnya. Sangat terasa memang. Membaca novel ini, saya membayangkan sosok lelaki berhati lembut dan sangat sensitif. Narasinya begitu liris, terkesan datar, dan seperti tidak ada gejolak. Dia hanya menuturkan masa lalu seperti seseorang yang menceritakan kembali cerita yang sudah dihapalnya luar kepala. Berkali-kali. Apakah saya bosan? Sebaliknya, saya terhanyut, seakan ikut merasakan pengalaman-pengalamannya. Seperti otobiografi lainnya, lewat novel ini, sedikit demi sedikit saya mulai mengenal dunia si penulis. Saya jadi tahu bahwa sejak kecil dia mencintai hujan, gadis kecil yang diceritakan sang nenek selalu bersedih. Dia menyukai warna biru, termasuk hal yang paling disukainya dalam hidup adalah buku, puisi dan perempuan.
Ada yang menggelitik dari novel ini. Aan mengajukan suatu pertanyaan yang tidak biasa. Saya sampai berpikir, mungkin saja dia seorang feminis berwujud laki-laki.
Sejak saat itu aku tumbuh dengan pikiran yang menyimpang. Tuhan pasti seorang perempuan. Laki-laki tak bisa dipercaya. Laki-laki tak bisa apa-apa. Laki-laki tak bertanggung jawab. Lihatlah, aku hanya bisa makan-minum, sekolah, tidur, menulis, dan tak bisa membantu ibu. Lihatlah, Ayah pergi dan tak pernah punya rasa rindu pada istri dan anaknya. Lihatlah, Kakek suka menikahi perempuan-perempuan lalu meninggalkannya seperti sampah. Apa yang bisa dilakukan oleh laki-laki? Apa? Tak ada kecuali hal-hal bajingan. Apa maksudmu melahirkan aku sebagai lelaki, Tuhan? (hal.62)
Novel ini tentang kenangan. Kenangan-kenangan yang disusun dan menjadi rumah yang nyaman untuk dihuni seorang Aan selama sisa hidupnya. Di sana, kadang kala dia menziarahi kembali kenangan itu tanpa berusaha melupakannya. Seperti katanya,
Aku takkan pernah mau mencoba menipu kenangan dengan melupakannya, sebab kenangan punya banyak cara untuk menjerat lalu membunuh kita (hal.4)
Komentar
Posting Komentar