Ekpetasi saya terhadap buku ini sangat besar mengingat betapa sulit menemukannya. Semula saya berniat memberi bintang 3,5, tapi karena tidak ada jadi saya membulatkan ke atas (untuk membulatkan ke bawah, saya tidak tega) dengan pertimbangan sampul buku yang sederhana tapi menarik, dan untuk beberapa cerpen yang memberi kesan dalam begitu selesai membacanya.
Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerita berjudul Ayah. Judul tersebut telah bercerita banyak hal (mungkin keseluruhan cerita ini), jadi saya tidak terlalu terkejut dengan isi bahkan twisted ending sama sekali tidak membantu. Pengalaman serupa saya rasakan ketika membaca Perempuan. Cerita ini malah lebih memualkan karena terlalu terkesan sangat gombal dan mendayu-dayu.
Namun ada beberapa cerpen yang menjadi jagoan saya, salah satu di antaranya Ambang. Tema cerita tidak istimewa sebenarnya, tentang cinta dua orang yang tidak bertaut dan memilih berpisah dengan alasan masing-masing, lalu muncul orang ketiga di antara mereka. Tetapi Avianti memberi kesan mendalam dan menyajikan narasi yang sangat bagus #tarik napas dulu#, bikin sesak, kata saya, kalo mau sedikit berlebihan (hahaha).
Aku mencintaimu. Dan itu ternyata menyakitkan. Kamu tidak tahu betapa setiap kali kamu berpaling, aku sangat menderita. Aku seperti orang yang sedang menoreh nadi dan meneteskan darah perlahan-lahan. Semakin lama aku jadi semakin lemah hingga darah habis terkuras. Karena itu aku pergi. Aku harus menjauh darimu. (hal. 44)
P : Apa yang terjadi bila dua orang saling mencintai tapi tak sanggup bersamaL : Seperti yang kita lakukan berpisahP : Apakah itu lebih baikL : Tidak. Sama menderitanya. Tapi kita harus memilihP : Aneh. Kita saling mencintai, tapi tak sanggup hidup bersama. Sementara, aku bisa hidupbegitu lama- bertahun-tahuan, puluhan tahun - dengan orang yang tidak aku cintai. (hal. 45).
Selain Ambang, saya juga menjagokan cerpen Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian. Saya sudah mengenal cerpen tersebut lebih dulu sebelum membaca kumpulan cerpen ini. Dan saya mengamini bila cerpen ini terpilih menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas. Detailnya sangat kelam dan menyentuh. Saya bisa merasa kengerian yang muncul saat membaca, Mungkin ia cuma ingin tahu, apa jadinya jika dicekik kuat-kuat (hal. 18). Saya dapat membayangkan keterguncangan seorang anak akibat menyaksikan dan mendengar pertengkaran hebat kedua orang tuanya. Kengerian yang sama, saya rasakan juga di cerpen Aku Telah Mengenal Dia. Emosi saya tumpah ruah di dua cerpen ini.
Hampir seluruh cerpen dalam kumpulan cerpen ini terasa gelap dan suram dengan narasi yang sangat puitis. Bukan buku yang ringan, dan bisa dibaca sambil lalu. Wajar bila saya mesti beberapa kali berhenti (mengambil jeda) sebelum membaca cerpen yang lain. Setiap cerpen memberi pengalaman yang berbeda-beda. Seperti saya yang teramat membenci cerpen Cahaya (lebih dari cerpen-cerpen yang lain). Menjijikkan, kata saya, dan tidak terpikirkan untuk membaca ke dua kali. Tapi ada pula cerpen Kabut yang menyedot saya dengan narasinya yang terkesan lambat tapi memikat meski tema yang diangkat sangat biasa. Sementara cerpen yang menjadi tajuk kumpulan cerpen ini, Negeri Para Peri, sepertinya akan masih menjadi pekerjaan rumah yang tak mudah untuk saya selesaikan.
Membaca cerpen Tak Ada yang Lebih Tepat Berada di Sini Selain Kamu, saya teringat novel Massage in the bottle. Tema yang biasa, tapi Avianti tidak membiarkan saya merasa santai dengan tidak meninggalkan kesan apa-apa begitu selesai membacanya. Saya dipaksa merenung. Apa yang kamu perbuat ketika kamu merasa telah mempunyai segalanya dalam hidup tapi ternyata kamu salah? Ada yang kosong. Mimpi yang tidak kamu kenal telah menguntitmu bertahun-tahun.
"Aku tidak mengenalnya, meski dia telah ada sejak aku ada. Memanggil-manggil dari ruang-ruang yang intim. Dia menunggu di satu tempat, satu waktu, entah di mana, hadil dalam imaji-imaji dan mimpi kanak-kanak yang tak pernah mati." (hal 88)
Masih ada beberapa cerpen yang juga menghadirkan pengalaman suram dan kelam yang berbeda-beda. Ada Champagne, Mata, 69, 90, dan 77 di antaranya, Pangeran Kecil, Pesta, Suara itu, Sebelum Kamu Mengatakan Tidak dan Pelajaran Terbang. Getir.
Well, baiklah. Memang tidak adil rasanya membulatkan ke bawah menjadi tiga bintang, karena kumpulan cerpen ini berhasil membuat saya tidak tenang sehabis membacanya. Meski saya sebenarnya tidak terlalu nyaman dengan gaya bercerita yang puitis seperti yang ditawarkan Avianti ini. (1 Okt-10Okt 2012)
Komentar
Posting Komentar