MANJALI DAN CAKRABIRAWA


Jika kebetulan-kebetulan terjadi terlalu banyak dan cocok satu sama lain, apakah kita tetap percaya bahwa itu adalah serangkaian kebetulan belaka? (Hal. 18)

Menurut saya, kutipan di atas merupakan inti dari novel setebal 251 halaman ini. Dalam novel ini, ada banyak kebetulan yang menautkan setiap peristiwa/hal, jalin menjalin menjadi cerita misteri berbumbu dongeng nusantara dan peristiwa tahun 65.MIsalnya saja, kebetulan Marja dititipkan pacarnya, Sandhi Yuda pada Parang Jati yang akan mengikuti pelatihan panjat tebing dengan kesatuan militer yang kebetulan sangat dibenci sahabat bermata bidadarinya itu. Kebetulan pula Parang Jati menatap Marja lebih dari satu detik (setelah selama setahun mereka bertiga menjalin pertemanan yang tidak biasa???) tepat ketika kereta yang membawa Yuda ke Bandung hilang dari pandangan, dan Marja tiba-tiba merasakan getaran pada dada lalu naik ke wajahnya. Kebetulan nama lengkap Marja adalah Marja Manjali, nama putri dari ratu teluh, Calwanarang yang menjadi nama candi, obyek penelitian ilmuwan tua dari Perancis, Jacquez Cherer. Kebetulan pula salah satu prasasti yang ditemukan bernama Bhairawa Cakra, sama dengan nama pasukan elite Presiden Soekarno yang menorehkan luka bagi warga desa. 

Kebetulan lainnya, Sandhi Yuda berkenalan dengan Letnan Satu Musa Wanara yang terobsesi mencari ilmu atau ngelmu dan menyimpan potongan kain tua hijau tentara dengan lencana militer bertuliskan Tjakrabirawa. Kebetulan sejak lama dia ingin mendapatkan mantra Bhairawa Cakra yang tertulis pada prasasti yang ditemukan Parang Jati (dan secara tak sengaja diceritakan oleh Yuda ketika mereka makan malam di warung tenda mi instan di tepi jalan). Dan Musa Wanara meminta imbalan atas jasanya membantu Yuda memperoleh ijin agar kuliahnya tidak gagal.

Secara kebetulan pula Marja bertemu seorang ibu tua yang bercerita tentang Banaspati yang semula dikiranya adalah jelmaan siluman yang pernah mendatanginya dalam wujud Jacquez tua. Nama ibu itu Murni, seorang perempuan buangan yang mengalami kepahitan karena terlibat dengan PKI dan Gerwani. Dia memiliki kenangan dengan lagu Danny Boy, yang dipopulerkan Jim Reeves,Panon Hideung, dan Iwan Fals yang kebetulan diputar Parang Jati dalam mobil saat mengantar ibu tersebut pulang. Suatu kebetulan pula karena ternyata candi Calwanarang dan dongengnya memiliki benang merah dengan masa lalu Bu Murni.

Ah, terlalu banyak kebetulan yang (bagi saya) terasa terlalu dipaksakan, sampai saya sendiri merasa bosan untuk menguraikannya. Mungkin saja bila kebetulan-kebetulan tersebut tidak terjadi dan terjalin, maka tidak akan ada novel yang memasukkan unsur sejarah, mistisme, percintaan (dan ini sepaket dengan birahi??) serta dongeng nusantara ini. Ayu menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu sebagai pencerita, dan saya cukup merasa terganggu dengan narasi yang dimulai dengan kata "kelak...(dan bla-bla-bla)". Orang ketiga tersebut menjadi tuhan bagi cerita dan memiliki otoritas penuh untuk mengatur segala sesuatu (sehingga menjadi kebetulan-kebetulan yang terjalin menjadi cerita). Ayu juga sering mengulang-ulang narasi seolah takut pembaca melewatkan penjelasan di bagian sebelumnya. Bila hanya mengulang sedikit, mungkin tidak menjadi soal, namun dia menuliskannya kembali, utuh di halaman dan bab yang berlainan.

Hal lain yang mengganggu saya adalah unsur sejarah dalam buku ini seperti hanya tempelan. Okelah, di bagian akhir dijelaskan sehingga perasaan terganggu tersebut tidak beralasan, karena ternyata semuanya saling berhubungan. Tapi tetap saja terasa kurang (bagi saya). Masih mentah.

Sudah banyak penulis-penulis lain mengangkat peristiwa kelam tahun 65 sebagai tema cerita mereka (sepertinya saya mulai bosan karena banyak yang menggunakannya cuma sebagai asesoris cerita), dan Ayu melengkapi kebosanan saya ini. Cerita Murni, Musa dan Cakrabirawa sangat berjarak dari pembaca, tidak menimbulkan perasaan tergetar apalagi tersentuh (seperti yang dirasakan Marja). Dan satu lagi, penulis sepertinya berusaha mendoktrin pembaca untuk sepaham dengannya lewat narasi-narasi penuh kebencian (Saya rasa apa yg dilakukan Ayu tidak jauh berbeda dengan buku pelajaran Sejarah yang selama ini mendoktrin generasi muda untuk mengutuk PKI, hanya ini berlainan haluan).

Dan hal yang paling membuat saya mengerutkan kening, ketika penulis mengaburkan makna cinta dan seks. Penulis menyatukan kedua hal itu menjadi satu paket. Ketika Marja jatuh cinta maka ia ingin mengepaskan kaki-kakinya pada pinggul Parang Jati. Karena Yuda tidak cinta pada salah satu gadis trio macan, maka dia tidak bersetubuh. Well, saya memang tidak mengagungkan cinta tapi saya pikir cinta juga bukan melulu tentang seks.

Tapi ada beberapa hal yang menjadi nilai plus buku ini. Hal yang juga membuat saya memutuskan memberi bintang tiga. Saya suka cerita mengenai candi-candinya, juga cerita mistis tentang kemunculan siluman berwujud Jacquez tua. Saya suka cerita Banaspati yang dituturkan Bu Murni. Saya juga menyukai bagian akhir ketika narator berganti menjadi orang pertama yaitu Bu Murni ketika akhirnya makam suaminya ditemukan (lihat hal 237 dan 238)

Apapun itu, semua pendapat saya ini hanya berdasarkan pengalaman selama membaca buku dengan sampul yang merupakan hasil lukisan si penulis sendiri



Komentar