JOSEPHINE



JUDUL          : JOSEPHINE
PENULIS      : MARIA GRIPE
PENERBIT   : BP GUNUNG MULIA


Maria gripe sangat cerdas, kata saya begitu selesai membaca buku ini. Dia bisa membayangkan dunia anak-anak dan menceritakan apa-apa yang ada dalam kepala seorang Josefine yang lugu dan “unik”. Baiklah, saya akui setiap orang pernah mengalami masa itu, tapi jujur, sampai sekarang, saya bahkan tidak bisa ingat, hal-hal konyol apa yg sudah saya pikirkan dan lakukan saat masik kanak-kanak dulu.

Namanya, Anna Gra, tapi dia merasa nama itu belum tepat dipakai sekarang, jadi dia memutuskan untuk menaruh nama itu dalam kotak sepatu dan membukanya nanti bila dia telah cukup besar untuk memakainya. Dia merasa semua orang dewasa itu tidak sopan dan kejam kepadanya. Mereka selalu memarahinya padahal dia tidak pernah berniat jahat bahkan kepada Agnetta sekalipun, dan juga Erik meski dia tidak menyukai laki-laki itu. Itu sebabnya dia tidak jadi memberikan kupu-kupu yang dibuatnya dari cadar pengantin Agnetta, karena kakaknya itu terus menangis dan meneriakinya dengan sangat marah. Orang dewasa memang bodoh, begitu pikirnya.

Dunia anak-anak yang penuh imajinasi dan misteri diceritakan Maria Gripe dengan sangat menarik. Ada pula konsep pencipta yang disebut Allah Tua, bintik-bintik hujan dan surga bumi, dan konsep tentang sungai malaikat yang suka mengubah anak-anak baik menjadi malaikat. Saya jadi teringat, cerita takhayul yang sering dipakai orang tua untuk memperingati bahkan menakut-nakuti anak kecil, seperti cerita tentang sungai malaikat itu. Apakah cara tersebut berdampak positif terhadap psikologi seorang anak? Dalam buku ini diceritakan dengan sangat baik, membuat saya tidak berhenti tersenyum.

Saya beri poin penuh, untuk kelucuannya, untuk tingkah-tingkah konyolnya, dan untuk percakapan-percakapan yang menggugah. (selesai baca 20 September 2012)


“Sejak dia menerima si gendut dia mulai tahu, walaupun dia tidak bisa menerangkan alasannya, bahwa tidak menyenangi sesuatu yang sempurna itu adalah wajar. (hal. 108) 
“Orang kadang-kadang ingin membayangkan,” kata Ayah-Bapa. “Dan karena orang senang membayangkan Allah sebagai orang tua yang bijaksana, maka mereka buatlah gambar orang seperti itu.” (hal. 129)
“Nah, inilah sedihnya. Orang yang saling memberi hadiah belum tentu akur satu sama lain. Lebih baik saling memberi kebaikan dan kegembiraan. Kita berdua selalu melakukan hal itu. Dan kita tidak membutuhkan hadiah, kan?Josefin mengangguk dan merangkulnya kuat-kuat.“Kurasa kita memang akur sekali,”bisiknya.“Kemudian dia terdiam sebentar, lalu katanya:“Apakah ini berarti bahwa kita tidak akan saling memberi hadiah sama sekali?”“Oh,” Ayah-Bapa tertawa. “Tentu saja kita akan saling bertukar hadiah. Tapi hanya hadiah-hadiah yang masuk di akal saja. Sebab, lama-lama, kalau kita mendapatkan semua yang kita inginkan, tidak lucu juga.” (Hal, 132)

Komentar