Dengan hati berat aku tulis surat ini untuk kalian. Belum sepatutnya pada kalian diajukan suatu berita yang mengguncangkan, memilukan, menakutkan, dan menyuramkan. (hal. 3)
Demikian Pramoedya mengawali catatan ini. Catatan yang disusun berdasarkan keterangan teman-teman sepembuangan Pramoedya di Pulau Buru, serta hasil pelacakan mereka terhadap para perempuan remaja yang dijadikan budak seks (jugun ianfu) setelah ditinggalkan di Pulau Buru (ditelantarkan begitu saja, tanpa pesangon, tanpa fasilitas dan terabaikan) segera selepas Jepang menyerah pada tahun 1945.
Mereka, perempuan-perempuan itu diambil secara paksa atau sukarela oleh pemerintah Jepang dari keluarganya dengan janji akan disekolahkan ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Janji itu dihembuskan pertama kali pada tahun 1943 dari kekuasaan tertinggi di Jawa- Pemerintah Bala tentara Pendudukan Dai Nippon. Janji yang tidak pernah dicatat melalui harian atau barang cetakan lain, hanya berupa desas-desus. Propaganda itu ditangani oleh Sendebu dan diteruskan kepada Pangreh Praja, Camat, Lurah, dan perangkat desa dengan konsekuensi mereka harus memberi contoh kepada rakyat yang diperintahnya demi keselamatan jabatan, pangkat, dan keluarga. Dari catatan yang berhasil dikumpulkan, para perawan itu berusia kurang dari 15-17 tahun, berasal dari kota besar, madya, atau kecil, atau dari kampung dan desa yang ada di dalam kawasan kota. Sebagian besar justru merupakan putri dari para pembesar jawa dan pejabat pemerintah lainnya.
Setelah Jepang kalah dalam perang dunia II pada Agustus 1945, para perawan tersebut ternyata tidak jadi berangkat ke Tokyo atau Shonanto sesuai janji, malah ditempatkan di Tempat Pengepolan di beberapa wilayah.
Catatan ini, menurut saya terdiri atas dua bagian. Awalnya berisi catatan para perawan yang pernah ditemui para nara sumber, seperti nama keluarga dan asal daerah. Bagian kedua, cerita mengenai pengalaman nara sumber ketika menjejak keberadaan para perempuan tersebut, salah satunya adalah Bu Mulyati, perempuan asal Klaten.
Di bagian ini saya mengalami sedikit kesulitan (mungkin bisa disebut kebosanan) dalam membacanya. Sejak awal, saya mulai terbiasa dan ingin tahu lebih banyak akan catatan tentang para korban kejahatan perang tersebut (masih dengan hati geram dan ngilu). Tetapi di bagian kedua ini, saya merasa seolah-olah sedang membaca fiksi. Cerita yang disusun Pram sendiri tidak bisa dikatakan tidak bagus, justru menurut saya sangat menyentuh dengan narasi yang indah. Pembaca diajak untuk mengenal dan bersinggungan dengan kehidupan penduduk Alfuru yang masih sangat primitif dan memiliki pola hidup nomaden lewat sudut pandang saksi, salah satunya Sarony, yang merupakan buangan dari Jawa. Pengalaman Sarony tidak mudah dan penuh bahaya. Hati saya ngilu, bukan saja karena catatan penemuan tentang para perempuan terbuang tersebut, tapi juga akan kehidupan para suku yang belum tersentuh oleh peradaban. Entah mengapa, di bagian ini saya merasa kehilangan esensi secara keseluruhan dari catatan ini.
Buku ini mengingatkan para remaja masa depan tentang suatu peristiwa kelam yang tidak tercatat dalam arsip sejarah. Peristiwa yang sampai sekarang masih menjadi bahasan beberapa lembaga kemanusiaan dunia dan pembela hak perempuan dunia. (16-20 OKT 2012)
Komentar
Posting Komentar