RSS

TROUBLING LOVE: BAB 1

BAB 1

I
 buku tenggelam di laut pada 23 Mei malam, di hari ulang tahunku, di daerah bernama Spaccavento, beberapa mil dari Minturno. Akhir tahun 50an, saat ayah masih tinggal bersama kami, kami menyewa kamar di rumah pertanian dekat daerah itu dan menghabiskan sepanjang bulan Juli di sana, kami berlima tidur di dalam kamar empat persegi yang sangat panas. Tiap pagi para gadis minum puding telur yang baru diambil dari kandang, pergi ke laut melewati setapak kotor dan berpasir di antara alang-alang untuk berenang. Pada malam ibuku meninggal, pemilik rumah, yang dipanggil Rosa, berusia tujuh puluh tahun lebih, mendengar seseorang mengetuk pintu, tapi karena takut kalau-kalau itu pencuri atau pembunuh, tidak membukakannya.


Ibuku naik kereta tujuan Roma dua hari sebelumnya, pada 21 Mei, tapi tidak pernah tiba. Akhir-akhir ini, dia kerap datang dan tinggal bersamaku beberapa hari, minimal sekali dalam sebulan. Aku tidak suka akan kehadirannya di rumah. Dia bangun saat subuh dan, seperti biasa, membersihkan dapur dan ruang tamu dari atas sampai bawah. Aku mencoba tidur lagi, tapi tak bisa: terbaring kaku dalam seprai, kurasa kesibukannya telah mengubah tubuhku menjadi anak-anak berkerinyut. Saat dia masuk kamar dengan secangkir kopi, aku beringkuk ke sisi yang tidak bisa dijangkaunya bila duduk di pinggir ranjang. Keramahannya membuatku jengkel: dia pergi berbelanja dan berkenalan dengan para penjaga toko yang selama sepuluh tahun ini berbicara padaku tak lebih dari dua kata; dia jalan-jalan menyusuri kota bersama orang yang baru dikenalnya; berteman dengan teman-temanku, dan menceritakan kehidupannya pada mereka, cerita yang selalu berulang. Aku, yang bersamanya, cuma bisa menjauhkan diri dan berpura-pura tidak mendengar.


Begitu menyadari isyarat ketidaksukaanku, dia pun pulang ke Naples. Dia mengumpulkan semua barangnya, merapikan rumah sekali lagi, dan berjanji akan datang lagi. Aku menyusuri tiap sudut rumah, menyusun ulang semua barang yang ditatanya sesuai keinginanku lagi. Aku menaruh tempat garam di rak biasa aku menyimpannya bertahun-tahun, mengembalikan deterjen ke tempat yang bisa kutemukan dengan cepat, memberantakin laci-laci, dan mengacaukan lagi ruang kerjaku. Dan pelan-pelan bau kehadirannya—wangi yang tertinggal di dalam rumah menguarkan kegelisahan—lenyap, seperti bau gerimis sebentar di musim semi.


Dia selalu ketinggalan kereta. Biasanya dia tiba sehari bahkan dua hari setelahnya, tapi aku tetap saja tidak terbiasa dan selalu mengkhawatirkannya. Aku meneleponnya dengan cemas. Ketika mendengar suaranya, aku mengomelinya dengan kasar: kenapa tidak memberitahuku begitu berangkat? Dia minta maaf tanpa merasa menyesal sedikit pun, malah bertanya geli, hal buruk apa yang bisa menimpanya, di usianya yang sekarang. “Banyak,” jawabku. Aku selalu membayangkan benang menjerat ibuku, menjalin lalu melenyapkannya dari dunia ini. Saat masih kecil, aku menghabiskan waktu menungguinya di dapur, di pinggir jendela. Aku menunggu kemunculannya di ujung jalan seperti sosok dalam bola kristal. Aku mengembuskan napas di kaca, membuat kabut, sehingga tak bisa melihat jalan yang tidak ada dia. Kalau ibuku terlambat pulang, kegelisahanku menjadi-jadi, meluap menjadi getaran ke sekujur tubuh. Aku pun berlari ke gudang—yang tidak berjendela dan berlampu—di samping kamarnya dan kamar ayah. Aku menutup pintu dan duduk diam dalam gelap, menangis. Kamar kecil itu penawar yang mujarab. Membangkitkan ketakutan yang bercokol dalam ceruk kegelisahan akan nasib ibuku. Dalam gelap pekat, tercekik bau DDT, aku disergap cahaya warna-warni yang selama beberapa detik menyambar biji mataku dan membuatku megap-megap. “Kalau kau pulang, aku pasti membunuhmu,” pikirku, seolah-olah dia yang membiarkanku terkunci di sana. Tapi kemudian, begitu mendengar suara ibuku di depan, aku segera bangkit dan mendekatinya, seolah tidak terjadi apa-apa. Gudang itu berkelebat lagi di pikiran saat kutahu dia pergi pada waktu biasa tapi tak pernah tiba.


Sore hari aku mendapat telepon pertama. Ibuku bilang dengan suara tenang kalau dia tak bisa bercerita padaku saat ini: ada laki-laki yang melarangnya. Lalu dia mulai tertawa dan menutup telepon. Awalnya aku bingung. Kupikir dia tengah bercanda, dan menunggu telepon ke dua darinya. Pada akhirnya aku menghabiskan waktu berjam-jam dalam kebingungan, duduk sia-sia di samping telepon. Lewat tengah malam, aku menelepon seorang teman yang berprofesi sebagai polisi: dia sangat baik dan berkata agar aku jangan terlalu cemas, dia yang akan mengurus masalah itu. Tapi malam berlalu tanpa kabar apa pun dari ibuku. Hal yang pasti hanya waktu keberangkatannya: Signora De Riso, tetangga mama, seorang janda seusia ibuku, yang selama lima belas tahun ini bolak balik bertengkar lalu berbaikan lagi, memberi tahu lewat telepon kalau dia yang mengantar ibu ke stasiun.  Ketika ibuku mengantri membeli tiket, perempuan itu membelikannya sebotol minuman dan majalah. Kereta hampir penuh tapi ibuku berhasil mendapat tempat, dekat jendela, berdesak-desakan dalam kompartemen bersama para tentara yang juga berangkat. Mereka berpamitan, dan saling mengingatkan untuk berhati-hati. Dia memakai apa? Seperti biasa: rok biru dan jaket, tas tangan kulit warna hitam yang tua, sepatu bertumit rendah, dan koper pakaian.


Pukul tujuh pagi ibu menelepon lagi. Meski aku melontarkan berbagai pertanyaan (“Kau di mana? Dari mana kau menelepon? Bersama siapa?”), dia malah menjaga jarak, dengan suara meninggi, serangkaian kata cabul dalam dialeknya, menjawab tiap pertanyaanku dengan santai. Lalu dia menutup telepon. Kata-kata kotor itu membuatku tak tenang. Aku menelepon temanku lagi, membuatnya kebingungan dengan campuran bahasa lokal dan Italia. Dia bertanya apa ibuku mengalami depresi belakangan ini. Aku tidak tahu. Memang sikapnya tidak seperti dulu—tenang, memikat dan lemah lembut. Sekarang ibuku suka tertawa tanpa sebab, juga terlalu banyak berbicara; tapi orang tua memang selalu bertingkah begitu. Temanku sependapat: begitu cuaca mulai hangat, orang-orang tua sering melakukan hal-hal aneh; tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi aku tetap khawatir, lalu menyusuri kota, mencari tahu tempat-tempat yang sering didatanginya.


Telepon ke tiga berbunyi pada pukul sepuluh malam. Ibu berbicara tidak keruan tentang laki-laki yang membututinya dan ingin menculiknya terbungkus ambal. Dia memintaku datang secepatnya dan menolongnya. Aku meminta ibuku memberitahu posisinya saat ini. Tapi mendadak dia mengubah nada suaranya, berkata kalau aku lebih baik tidak datang. “Kunci pintumu, jangan buka untuk siapa pun,” nasehatnya padaku. Laki-laki itu akan melukaiku, juga. Lalu dia menambahkan: “Pergilah tidur. Aku mau mandi sekarang.” Itu saja.


Dua hari kemudian dua anak laki-laki melihat tubuh ibuku mengambang beberapa yar dari pantai. Dia hanya mengenakan bra. Kopernya tidak ditemukan. Kemeja birunya hilang. Pakaian dalam, kaus kaki, sepatu, tas tangan, dan identitasnya yang lain, juga tak ditemukan. Tapi cincin pertunangan masih melekat di jarinya begitu juga cincin pernikahannya. Anting di telinganya, pemberian ayahku setengah abad yang lalu juga masih ada.

          Aku menatap tubuh yang membiru itu, berpikir lebih baik mengambilnya agar jangan dibawa ke tempat yang tidak kuketahui.  Dia tidak diperkosa. Di tubuhnya hanya ada beberapa memar, itu pun karena hempasan ombak, meski arus kecil, tapi terus menghempas tubuhnya ke bebatuan dalam air sepanjang malam. Kulihat di sekitar matanya sisa-sisa riasan tebal. Aku mengamatinya lama sekali, dengan gelisah, kakinya, kulit coklatnya , juga riasannya yang kelihatan terlalu muda untuk seorang perempuan berusia enam puluh tiga tahun. Dengan kegelisahan yang sama aku tersadar kalau branya yang dipakainya berbeda dari yang biasa. Cupnya terbuat dari renda yang dijahit rapi dan menampakkan bayangan putingnya. Keduanya terjalin dengan tiga sulaman “V”—label toko Neapolitan yang menjual pakaian dalam wanita termahal di kota ini—untuk Vossi bersaudara. Saat bra itu diberikan padaku, bersama anting dan cincinnya, aku mengendusnya lama sekali. Bau kain baru tercium tajam sekali.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TROUBLING LOVE: BAB 3

BAB 3



A
ku tiba di pemakaman tepat ketika peti jenazah diturunkan ke liang lahad kelabu, lalu ditimbun tanah.  Saudari-saudariku pergi begitu penguburan selesai, naik mobil, bersama suami-suami dan anak-anak mereka. Mereka tidak sabar ingin pulang dan melupakan semuanya. Kami berpelukan dan berjanji akan saling mengunjungi dalam waktu dekat, tapi kami tahu, itu takkan pernah terjadi. Hal yang paling sering kami lakukan, dari waktu ke waktu, hanya saling menelepon, untuk mengukur peningkatan jarak kerenggangan kami dari sebelumnya. Bertahun-tahun kami bertiga tinggal di kota yang berbeda, masing-masing dengan kehidupannya sendiri dan masa lalu yang sama-sama tidak kami sukai. Di pertemuan yang jarang terjadi kami memilih menyimpan hal-hal yang seharusnya kami bicarakan bersama.

                Ditinggal sendirian, kukira Paman Filippo akan mengajakku ke rumahnya, tempat aku menginap beberapa hari sebelumnya. Ternyata tidak. Tadi pagi memang kukatakan kalau aku akan ke apartemen ibuku, mengambil barang-barang yang bernilai sentimentil, membatalkan penyewaan, memutus listrik, gas, dan telepon; dan dia mungkin berpikir tidak ada gunanya mengajakku lagi. Dia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal,  terbungkuk-bungkuk, dengan kaki diseret, letih oleh usia dan setumpuk dendam kesumat yang membuatnya memuntahkan makian yang berlebihan.


                Jadi aku ditinggalkan di jalanan. Kerumuman kerabat pulang ke tempat masing-masing. Ibuku dikuburkan oleh pengurus makam yang kurang ajar di dasar liang berbau paraffin dan kembang-kembang busuk. Punggungku terasa sakit dan perutku kram. Dengan malas aku memutuskan untuk: berjalan sepanjang tembok Botanic Garden yang panas membara ke Piazza Cavour, dengan udara yang terasa lebih pekat karena asap knalpot mobil dan dengung bahasa setempat yang kusimak dengan enggan. 


                Itu bahasa ibuku, yang susah payah kulupakan tapi sia-sia, bersama banyak hal yang mengingatkanku tentangnya. Saat bertemu di rumahku, atau aku yang datang ke Naples—tidak lama, hanya kunjungan setengah hari—dia berusaha keras menggunakan bahasa Italia yang kaku, dan, dalam kejengkelan—hanya untuk membantunya—aku pun ikut-ikutan. Bukan dialek yang menyenangkan dan memunculkan perasaan rindu, tapi logat yang tidak natural, diucapkan terbata-bata, lafal yang kaku, serupa bahasa asing yang hampir tidak dikenali. Suara yang kuucapkan dengan gelisah merupakan gema dari perselisihan hebat antara Amalia dan ayahku, antara ayah dan kerabat ibu, antara ibu dengan kerabat ayah. Aku jadi tidak sabar. Lalu kembali menggunakan bahasa Italia dan ibu tetap dengan dialeknya. Sekarang dia telah meninggal dan aku bisa menyingkirkan dialek itu selamanya, bersama kenangan di dalamnya, dan mendengar dialek itu sekarang memunculkan kecemasan. Tapi aku menggunakan bahasa itu saat membeli Pizza Fritta berisi ricotta. Setelah berhari-hari hanya makan sedikit, aku pun memakannya dengan nikmat, sambil memutari taman-taman tak terpelihara dengan pohon-pohon oleander kering, dan mengamati kelompok-kelompok lansia. Lalu lintas ramai yang dengan manusia dan mobil dekat taman membuatku memutuskan untuk pergi ke apartemen ibuku.


                Apartemen Amalia berada di lantai empat gedung tua yang dikelilingi pilar. Gedung itu salah satu gedung terbesar di pusat kota yang sebagiannya kosong di malam hari dan selama siang hari ditempati pegawai-pegawai yang bertugas memperbarui lisensi, berburu sertifikat rumah atau kelahiran, mengecek komputer untuk reservasi atau tiket di pesawat, kereta, dan kapal, membuat naskah polis asuransi kehilangan, kebakaran, penyakit, kematian, atau menyusun laporan keuangan yang rumit. Jumlah penyewa biasa sangat sedikit, tapi ketika ayahku, berusia awal dua puluhan—saat Amalia berkata kalau dia ingin berpisah, dan kami anak-anak perempuannya sangat mendukung keputusan itu—mengusir kami berempat keluar dari rumah, dengan sedikit keberuntungan, kami bisa mendapatkan salah satu apartemen di gedung itu untuk disewa. Aku tak pernah menyukainya. Gedung itu membuatku tak tenang, bentuknya seperti penjara, pengadilan, atau rumah sakit. Ibuku justru menyukainya: menurutnya gedung itu mengagumkan. Pada kenyataannya gedung itu jelek dan kumuh, menurun ke arah pintu luar yang besar, yang selalu dibuka paksa tiap pengawas memperbaiki kuncinya. Panelnya berdebu, menghitam karena asap pembuangan, dengan kenop kuningan besar yang belum pernah dipelitur sejak awal peradaban. Sepanjang hari, selalu ada yang berdiri di lorong panjang yang mengarah ke taman di dalam gedung: pelajar, orang-orang yang menunggu bus yang berhenti tak jauh dari situ, penjual keliling yang menjajakan pemantik, tisu, jagung bakar, atau chestnut panggang, turis yang berteduh saat terik atau hujan, dan orang-orang bermuka masam dari segala ras yang tenggelam dalam renungan tak habis-habis yang terlihat di jendela di sepanjang kedua tembok gedung itu. Biasanya orang-orang itu menghabiskan waktu menunggui siapa pun yang datang melihat-lihat foto-foto seni karya fotografer tua yang mempunyai studio di gedung itu: mempelai laki-laki dan mempelai perempuan dalam balutan busana pernikahan, tersenyum, gadis yang berkilauan, muda-mudi berseragam dengan ekspresi kurang ajar. Tahun-tahun sebelumnya foto jenis paspor kepunyaan Amalia dipajang di sana selama beberapa hari. Aku sendiri sudah mengingatkan si fotografer untuk mencabutnya, sebelum ayahku lewat, mengamuk dan memukul jendela.


                Aku melintasi taman dalam gedung itu dengan mata tertunduk dan langkah pendek-pendek hampir berlari menuju ke pintu kaca tangga B. Penjaga pintu tidak ada dan aku bernapas lega. Aku masuk ke elevator dengan cepat. Cuma itu tempat yang aku sukai dari seluruh bangungan ini. Biasanya aku tidak menyukai patung sarcophagi baja yang naik dengan cepat atau meluncur secepat kau menekan tombolnya, dan membuat lubang dalam perutmu. Tapi elevator yang ini dinding panelnya terbuat dari kayu, dan pintu kaca dengan ornamen arabesque di pinggirnya dan pegangan dari kuningan halus, dua bangku panjang kayu yang saling berhadapan, cermin, dan lampu remang; bergerak naik turun dengan konser suara derit, di tempat yang tenang. Kotak koin dari abad ke lima puluh—dengan perut lebar dan paruh melengkung ke atas, siap menelan uang kembalian—memancarkan lenguh metalik di setiap lantai. Meski belakangan ini gerbong elevator disetel bergerak hanya dengan menekan tombol, tapi kotak koin itu tetap terpancang sia-sia di kanan dan kiri dinding. Saat elevator berhenti di ruangan tua yang hening, kotak itu, dengan kehampaannya yang asing, tidak menggangguku.


                Aku duduk di bangku dan melakukan—selayaknya seorang gadis—hal yang selalu kulakukan untuk menenangkan diri: bukannya menekan tombol angka 4 di elevator itu, aku malah naik ke lantai 6. Ruangan itu telah kosong dan gelap selama bertahun-tahun, tepatnya sejak pengacara yang berkantor di sana pindah, dan membawa semuanya termasuk bola lampu dari plafon tangga. Saat elevator berhenti, napasku tergelincir ke perut lalu pelan-pelan kembali ke tenggorokan. Seperti biasa, setelah beberapa menit, cahaya dari elevator menghilang juga. Aku berpikir meraih salah satu kenop pintu: kau hanya perlu menariknya dan cahaya akan masuk ke tempat ini lagi. Tapi aku tak bergerak sama sekali dan terus menghela napas dalam-dalam ke seluruh tubuh. Satu-satunya suara hanya bunyi rayap yang memakan dinding-dinding berpanel.


                Beberapa bulan sebelumnya (lima atau enam bulan?), mendadak tergerak hati, memberitahu ibu—pada waktu kunjungan singkatku—kalau saat remaja aku sering mengasingkan diri di tempat rahasia itu, dan aku membawanya ke sana, ke lantai teratas. Mungkin aku mencoba membangun kedekatan yang tak pernah ada di antara kami, mungkin juga aku ingin dia tahu meski dengan cara yang membingungkan kalau aku sering merasa tidak bahagia. Tapi dia malah tertawa geli membayangkan aku duduk mencangkung dalam kekosongan, dalam sebuah elevator yang bobrok.


                “Pernahkah kau, di sepanjang tahun ini, punya pacar?” Kemudian aku bertanya padanya, saat itu juga. Maksudku, apakah dia memiliki kekasih, setelah berpisah dengan ayahku? Memang itu pertanyaan paling ganjil, di antara pertanyaan-pertanyaan yang pernah kuajukan semenjak kanak-kanak. Tapi  tubuhnya, yang jarak duduk kami hanya beberapa inchi di bangku kayu itu, menunjukkan kegelisahan. Tapi tidak dengan suaranya, yang menjawab dengan tegas dan jelas: tidak. Tak ada satu pun tanda yang menunjukkan kalau dia tengah berbohong. Dan aku pun tidak meragukannya. Tapi dia berbohong.


                “Kau punya kekasih,” kataku, dingin.


                Reaksinya terasa berlebihan dibanding kemampuannya mengendalikan diri seperti biasa. Dia menarik gaunnya setinggi pinggang, memperlihatkan dalaman model pinggang yang longgar berwarna merah jambu. Tergelak, dia mengatakan hal yang membingungkan tentang daging lunaknya, perut kendornya, berulang-ulang, “Coba sentuh,” lalu menarik salah satu tanganku dan meletakkannya di atas perut putihnya yang menggelambir.


                Aku menarik tanganku dan meletakkannya dekat jantung untuk meredakan detaknya yang cepat. Ibuku membiarkan keliman gaunnya jatuh, tapi lututnya masih terlihat, tampak kuning tertimpa cahaya elevator. Aku menyesal membawanya ke tempat persembunyianku. Dan aku ingin dia segera menurunkan gaunnya. “Keluar,” kataku padanya. Dan dia pun keluar: ibuku tak pernah berkata tidak padaku. Satu langkah di luar pintu elevator yang terbuka lalu dia lenyap dalam kegelapan. Sendirian dalam gerbong, aku merasa damai. Dengan gerak tubuh tak berbayang, aku menutup pintu. Tak berapa lama cahaya dari elevator pun lenyap.


                “Delia,” bisik ibuku, tak gelisah. Dia tak pernah menunjukkan kegelisahan akan kehadiranku, bahkan dalam kondisi yang tampak menggelisahkan bagiku, di luar kebiasaan, bukannya mencari ketenangan hati, dia malah ingin menenteramkan hatiku.


                Aku duduk beberapa lama sambil mendengar namaku seperti pantulan suara dalam ingatan, keniskalan yang menggema tanpa suara di kepala seseorang. Suara itu, terdengar olehku, datang dari masa lampau, saat ibu mencariku di seluruh sudut rumah dan tak menemukanku.


                Sekarang aku berada di sana dan berupaya menghapus kenangan dari gema-gema itu. Tapi aku merasa tidak sendirian. Aku diamati, bukan oleh Amalia beberapa bulan lalu yang sekarang telah meninggal tapi oleh “diriku” yang muncul dari plafon dan melihatku duduk di sana. Aku membenci diriku ketika perasaan itu muncul. Aku malu menemukan diriku terdiam di gerbong usang itu, duduk mencangkung di antara kegelapan dan kekosongan, seolah bersembunyi dalam sarang di cabang pohon, dengan ekor panjang kabel baja yang menjuntai letih dari badan elevator. Aku mengulurkan tangan ke arah pintu dan mencari-cari pegangan pintu. Kegelapan tertinggal di luar pintu kaca berornamen arabesque.

              Aku selalu mengetahuinya. Ada garis yang tidak bisa kulewati saat memikirkan Amalia. Mungkin aku berada di sana agar bisa melintasinya. Dan itu menakutkanku. Aku menekan tombol berangka 4 dan elevator terhentak tanpa suara. Berkeriut, lalu perlahan turun menuju apartemen ibuku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TROUBLING LOVE: BAB 2

BAB 2


Selama pemakaman, aku terkejut karena sempat berpikir, akhirnya aku tak punya kewajiban mengkhawatirkan ibuku. Setelahnya aku menyadari ada aliran hangat dan terasa basah di sela-sela kakiku.


                Aku berada di barisan terdepan rombongan prosesi yang panjang; para kerabat, teman-teman, dan kenalan. Kedua saudariku berada di sampingku. Aku menopang lengan salah satunya karena takut dia jatuh pingsan. Sementara yang lain berpegangan padaku seolah mata bengkaknya membuat dia tidak bisa melihat. Tanpa kusadari tubuhku larut dalam ketakutan serupa teror hukuman. Aku tak bisa mencucurkan air mata: aku tidak bisa menangis, atau mungkin aku tak ingin menangis. Tambahan lagi aku satu-satunya yang menyampaikan permintaan maaf atas nama ayahku, yang tidak hadir ke pemakaman atau mengirimkan karangan bunga. Saudari-saudariku tidak menyembunyikan celaan mereka, dan tampak bersungguh-sungguh menunjukkan pada publik kalau mereka punya air mata yang cukup mewakili aku dan ayah yang tidak menangis. Aku merasa disudutkan. Prosesi diikuti oleh seorang laki-laki negro bertubuh pendek yang memanggul tumpukan lukisan berbingkai, salah satunya (yang kelihatan dari belakangnya) menunjukkan lukisan mentah seorang gypsi setengah telanjang. Kuharap saudari-saudariku atau para kerabat tidak memperhatikannya. Ayahku yang membuat lukisan-lukisan itu. Mungkin dia tengah melukisi kanvas rongsokannya sekarang. Dia telah melukis—selama beberapa dekade dan akan terus melukis dalam jumlah yang tak terkira—potret gypsy penuh rasa benci, menjualnya di pinggir jalan dan bazaar, atau membuat pesanan lukisan jelek bernilai beberapa lire untuk dipajang di ruang tamu para kaum borjuis kecil. Goresan-goresan ironi yang menghubungkan masa-masa pertemuan, lalu perpisahan, sampai dendam-dendam lama, yang datang ke pemakaman ibuku—bukan ayahku tapi lukisan dasar dirinya—dan sangat dibenci putri-putrinya bahkan lebih dari kebencian kepada sipelukis. 


                Rasanya lelah sekali. Aku belum beristirahat sedikit pun sejak tiba di kota ini. Berhari-hari aku berkeliling bersama Paman Fillipo, saudara laki-laki ibuku, menjumpai kecarutmarutan kantor administrasi publik, mendatangi calo tak berpengalaman yang bisa mempercepat prosedur birokrasi, atau, setelah menunggu dalam antrian panjang di loket, mencoba menyogok petugas untuk mengatasi masalah yang tidak dapat diatasi kecuali dengan persenan yang besar. Terkadang pamanku berhasil menyelesaikannya cuma dengan menunjukkan lengan jaketnya yang kosong. Dia kehilangan lengan kanannya beberapa tahun yang lalu, ketika berumur lima puluh enam, saat mengoperasikan mesin bubut di sebuah bengkel di pinggir kota, dan sejak itu, dia menggunakan kecacatannya untuk meminta-minta, atau mengutuk orang-orang yang menolaknya. Tapi sebagian besar berhasil diselesaikan dengan menyodorkan uang yang sangat banyak. Artinya kami berhasil mendapatkan dokumen-dokumen yang diperlukan, ijin dari--yang aku tidak tahu berapa banyak--pejabat yang berwajib, yang sebenarnya atau yang gadungan, pemakaman kelas satu, dan yang paling sulit dari semuanya, tempat di pekuburan. 


                Sementara itu, mayat Amalia, ibuku, yang dibedah untuk keperluan otopsi, terasa bertambah berat dan berat saat digotong bersama dengan nama dan marga, tanggal lahir dan tanggal kematian, di belakang seorang birokrat yang terkadang kasar dan terkadang pula bermuka dua. Kurasa harus segera mengakhirinya, sebelum benar-benar kelelahan, dengan membantu membawa peti jenazah. Mereka akhirnya mengijinkanku setelah perdebatan yang alot: perempuan tidak menggotong peti jenazah. Itu dianggap buruk. Karena para lelaki yang menggotong peti jenazah bersamaku (sepupu dan dua ipar) lebih tinggi, aku takut sepanjang perjalanan kotak kayu itu bakal menimpaku—bisa tulang selangka atau leherku—bersama jasad di dalamnya. Saat peti jenazah dinaikkan ke kereta, dan mulai berjalan beberapa langkah, sehela napas lega yang canggung cukup untuk melepaskan aliran tegang tersembunyi dari perutku.

                Cairan hangat yang mengalir dari tubuh tanpa kumau itu seakan menjadi isyarat persetujuan antara para alien dalam tubuhku. Arak-arakan pemakaman mengarah ke Piazza Carlo III. Bagian muka gedung Reclusorio yang bercat kuning tampak hanya bisa menampung sedikit warga yang berdesakan di dalamnya. Topografi jalan kenangan terlihat tidak stabil, seperti minuman berkarbonat yang, jika digoncang, akan menggelembung dan meluap. Aku merasa kota itu mulai meleleh oleh panas, dalam cahaya abu-abu berdebu, dan melintas di kepalaku kisah masa kecil dan remaja yang memaksaku menyusuri Veterinaria lalu Taman Botanic, atau melintasi tambalan-tambalan pasar di Sant’Antonio Abate, yang  selalu lembab dan diseraki sayur-sayuran busuk. Seakan ibulah yang membawakanku tempat-tempat itu, dan, juga nama-nama jalan itu. Aku memandang bayangan saudara-saudariku di kaca, di antara rangkaian bunga-bunga, serupa foto yang diambil dalam cahaya suram, dan hilang dari ingatan masa depan. Aku menambatkan diri pada bebatu jalanan Piazza dengan tapak sepatu, lalu menepis bebauan bunga dalam kereta, yang sudah membusuk. Pada saat yang sama aku takut darah akan mengucur ke pergelangan kakiku, karenanya aku mencoba melepaskan diri dari saudari-saudariku. Tapi rasanya mustahil. Aku harus menunggu sampai arak-arakan berputar  melewati Piazza, mendaki Don Bosco, dan berpencar dalam riuh mobil-mobil dan pengunjung. Bibi dan paman, bibi besar dan paman, ipar, sepupu mulai memeluk kami bergantian: tamu yang samar-samar dikenali, berganti tiap tahun, jumpa ketika masih kecil atau bahkan tidak pernah. Beberapa orang yang kuingat jelas malah tidak tampak. Atau mungkin ada di sana, tapi tak lagi mengenali mereka karena aku hanya mengingat detail semasa kanak-kanak: kelainan mata, kaki pincang, kulit sewarna zaitun. Penggantinya, seseorang yang namanya tidak kutahui menarikku ke samping untuk menceritakan hal-hal buruk yang dilakukan ayahku pada mereka dulu. Seorang laki-laki muda yang tidak kukenal tapi penuh kasih, cakap berbicara, bertanya tentang kabarku, apa pekerjaanku. Kujawab: Hmm, semuanya baik-baik saja, aku menggambar komik, dan balik bertanya bagaimana kabarnya? Banyak perempuan tua penuh keriput, berpakaian serba hitam kecuali muka pucat mereka, memuji kecantikan dan kebaikan Amalia yang luar biasa. Beberapa memelukku dengan paksa dan mengucurkan air mata berlebihan yang membuatku terombang-ambing dalam perasaan tercekik atau sensasi basah tak tertahankan dari keringat dan air mata mereka lalu mengaliri pangkal pahaku, di mana kedua pahaku menyatu. Itu kali pertama aku bersyukur karena mengenakan gaun hitam. Aku baru mau beranjak saat Paman Fillipo mulai meneriakkan salah satu makiannya. Di kepala tujuh puluh tahunnya, yang selalu keliru dengan masa lalu dan saat ini, ingatan kecil pasti telah menghantam pembatas yang memang rapuh. Pada setiap orang yang kebingungan, dia mulai mengutuk keras-keras dalam bahasa setempat, dan melambai-lambaikan satu-satunya lengan punya dengan tidak keruan.


                “Apa kau melihat Caserta?” Tanyanya, berbalik ke arahku dan saudari-saudariku, hampir tidak bisa bernapas. Lagi dan lagi dia mengulang nama yang terdengar akrab itu, bebunyian menakutkan dari masa kecil yang kerap membuatku gelisah. Lalu, dengan wajah pucat kelabu, dia mengimbuh, “Tidak tahu malu. Di pemakaman Amalia. Kalau ayahmu di sana, dia pastinya membunuhnya.”


                Aku tidak ingin mendengar apa pun tentang Caserta, segumpal ketakutan dari masa kecilku. Aku berlagak Caserta tak pernah ada dan mencoba menenangkan pamanku, tapi dia bahkan tidak mendengarku. Malahan, dalam gejolak itu, lengannya menekanku, seolah dia berharap bisa menghiburku dengan menghina nama itu. Aku menarik diri dengan kasar, berjanji pada kakakku kalau aku akan ke pekuburan tepat waktu, dan kembali ke Piazza. Dengan cepat aku mencari bar. Aku menanyakan kamar kecil dan berjalan ke belakang, masuk ke ruangan sempit yang bau dengan toilet kotor dan wastafel bernoda kekuningan.


                Darah yang mengalir terasa lengket. Aku merasa mual dan sedikit pusing. Dalam bayang-bayang kegelapan aku melihat ibu, kakinya membuka, begitu dia melepaskan kancing dan--seakan melekat--menyingkirkan kain linen berdarah dari kelaminnya; tanpa terkejut dia berbalik dan berkata, dengan tenang, “Pergi, apa yang kau lakukan di sini?” Tangisku meledak untuk pertama kali sejak bertahun-tahun. Aku menangis, memukulkan satu tangan di wastafel berkalikali, mengikuti ritme air mataku. Saat menyadarinya, aku berhenti, membersihkan diri sebisanya dengan Kleenex, dan keluar mencari apotek.


                Saat itulah aku bertemu dengannya pertama kali. “Bisa aku bantu?” tanyanya saat aku menubruknya: kejadiannya cepat, wajahku menubruk kemejanya, melihat tutup biru pena miliknya yang tersimpan di saku jaket, dan pada saat yang sama, dia menunjukkan nada suara bimbang, wangi yang menyenangkan, kulit licin lehernya, dan rambut putih tebal yang berantakan disisir rapi.


                “Apa anda tahu di mana letak toko obat?” tanyaku tanpa melihat ke arahnya, secepatnya menjauhkan diri agar tak lagi bersentuhan dengannya.

               
                “On Corso Garibaldi,” jawabnya saat aku berusaha membuat jarak antara tubuh kurus tapi padatnya denganku. Dalam kemeja putih dan jaket gelapnya, seolah dia bagian dari depan gedung Albergo dei Poveri. Aku memandang wajah pucatnya, dicukur rapi, dengan sorot mata tanpa keraguan yang tidak kusuka. Aku mengucapkan terima kasih, hampir berbisik, dan melangkah ke arah yang ditunjukkannya tadi.


                Dia mengikutiku dengan suaranya, yang berubah-ubah dari sopan ke desisan kata yang semakin lama semakin vulgar. Aku mendengar aliran kata-kata cabul dalam logat setempat, suara sungai lembut yang menyertakanku, saudari-saudariku, ibuku dalam campuran cairan mani, ludah, tinja, kencing, dalam tiap mulut yang mungkin ada. 

                    Aku mendadak berbalik, kian bingung akan celaan tanpa maksud itu. tapi laki-laki itu sudah tidak ada. Mungkin dia telah menyeberang jalan dan menghilang di antara mobil-mobil, mungkin juga dia telah balik ke sudut Sant’Antonio Abate. Pelan-pelan aku meredakan debaran jantungku dan dorongan untuk membunuh pun menguap. Aku pergi ke toko obat, membeli sebungkus pembalut, dan balik ke bar itu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Pengharapan tidak pernah Mengecewakan. Tetap Semangat!