RSS

THE WIND-UP BIRD CHRONICLE: HARUKI MURAKAMI



BULAN PURNAMA DAN GERHANA MATAHARI
*
KUDA-KUDA YANG SEKARAT DI KANDANG


(diterjemahkan dari Bab 2 Novel The Wind-up Bird Chronicles karya Haruki Murakami)

Mungkinkah seseorang memahami orang lain sepenuhnya?

Kita bisa saja meluangkan banyak waktu dan tenaga mengenali orang lain, tapi pada akhirnya, sedekat apa kita memahami pribadinya? Kita terus meyakinkan diri kalau kita mengenal orang lain dengan baik, tapi benarkah kita tahu hal-hal terpenting tentang dia?

Aku mulai memikirkannya dengan serius seminggu setelah berhenti bekerja dari biro hukum. Tidak pernah sebelumnya—bahkan di sepanjang hidup—aku bergulat dengan pertanyaan semacam ini. Dan mengapa bisa begitu? Mungkin karena selama ini aku hanya memikirkan urusan pribadi. Aku sibuk memikirkan diri sendiri.

Hal sepele yang memicunya, seperti hal-hal penting di dunia ini bermula dari yang kecil. Satu pagi setelah Kumiko terburu-buru menghabiskan sarapan dan berangkat ke kantor, aku memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, merapikan tempat tidur, mencuci piring, dan menyedot debu. Setelahnya, dengan kucing di sampingku, aku duduk-duduk di teras, melihat iklan pencarian dan penjualan di koran. Siang hari, aku makan lalu berbelanja ke supermarket. Aku membeli bahan makanan untuk malam, dan dari keranjang obral, mengambil deterjen, tisu wajah, dan tisu toilet. Sesampai di rumah, aku menyiapkan bahan untuk makan malam lalu baringan di sofa sambil membaca buku, menunggu Kumiko pulang.

Baru saja menganggur, aku merasa gaya hidup seperti ini menyegarkan. Tidak ada jadwal pulang-pergi naik kereta pada jam-jam sibuk, dan tak perlu bertemu orang-orang yang enggan kutemui. Dan bagian terbaiknya, bisa membaca, buku apa pun dan kapan pun aku mau. Aku tidak tahu sampai kapan hidup santai begini, tapi setidaknya, setelah seminggu, aku menikmatinya, dan mencoba tidak memikirkan hari esok. Ini liburan terbaikku. Aku tahu, suatu hari pasti berakhir, tapi sampai waktu itu tiba, kuputuskan untuk menikmatinya.

Tetapi, malam itu, aku tidak menikmati bacaanku, karena Kumiko terlambat pulang. Dia tidak pernah pulang lewat pukul 7.30 malam, dan bila akan pulang terlambat, meski cuma sepuluh menit, dia pasti memberitahu. Dia memang seperti itu: terlalu berhati-hati. Namun, hari itu lain. Dia belum pulang meski sudah pukul 7.30, dan tidak menelepon. Daging dan sayuran sudah disiapkan, tinggal memasaknya sebentar begitu dia pulang. Menu yang kusiapkan biasa saja: Aku akan menumis irisan daging, bawang merah, paprika, dan kecambah dengan sedikit garam, merica, kecap, dan arak—resep saat lajang dulu. Nasi telah tanak, sup miso telah dihangatkan, sayuran juga sudah dipotong-potong dan ditata terpisah di piring besar, siap untuk dimasak. Cuma Kumiko yang belum ada. Aku lumayan lapar dan terpikir untuk memasak seporsi lalu makan sendirian, tapi tak kulakukan. Rasanya tidak pantas.

Aku duduk-duduk di konter dapur, menyesap bir, dan mengunyah kue kering asin yang agak lembek yang kutemukan dari balik lemari dapur. Kulihat jarum pendek pada jam bergerak menuju—perlahan melewati—posisi pukul setengah delapan.

Kumiko sampai pukul sembilan lewat. Terlihat lelah. Matanya memerah: pertanda buruk. Selalu ada kejadian buruk tiap matanya memerah begitu.

Ok, kataku pada diri sendiri, tetap tenang, bersikap biasa dan santai. Tanggapi sewajarnya.

“Maaf,” kata Kumiko. “Kerjaanku belum selesai. Sempat terpikir meneleponmu, tapi tadi memang sibuk sekali.”

“Tidak apa-apa. Tak perlu risau,” sahutku sewajar mungkin. Dan sebenarnya, memang tak masalah buatku. Aku pernah mengalaminya berkali-kali. Kerja memang berat, tidak manis dan menyenangkan seperti memetik mawar paling cantik di kebun untuk nenekmu yang tengah sakit lalu seharian berjalan-jalan sejauh dua blok bersamanya. Terkadang kau mesti melakukan hal tidak menyenangkan bersama orang-orang yang tidak kau sukai, dan tidak sempat menelepon ke rumah. Tigapuluh detik sebenarnya cukup untuk bilang,” Aku pulang telat malam ini,” dan pesawat telepon ada di mana-mana, tapi kau memang tidak sempat melakukannya.

Aku mulai memasak: menyalakan kompor, menuang minyak ke wajan. Kumiko mengambil bir dari kulkas dan gelas dari rak, melihat sekilas ke masakanku, lalu duduk di meja makan tanpa berkata apa-apa. Dilihat dari raut wajahnya, dia tidak menikmati birnya.

“Harusnya kau makan duluan,” katanya.

“Tidak apa-apa. Aku juga tidak terlalu lapar.”

Sementara aku menumis daging dan sayuran, Kumiko bersih-bersih. Aku bisa mendengar dia mencuci muka dan menyikat gigi. Tak berapa lama, dia keluar dari kamar mandi, memegang sesuatu. Tisu toilet dan tisu wajah yang kubeli dari supermarket.

“Kenapa kau beli ini?” tanyanya, terdengar letih.

Masih memegang wajan, aku memandangnya. Lalu beralih ke kotak tisu dan gulungan tisu toilet di tangannya. Tak paham maksud pertanyaannya.

“Maksudmu? Itu kan tisu. Keperluan kita. Persediaan kita memang belum habis, tapi keduanya tidak mungkin busuk walau disimpan lama.”

“Bukan. Bukan itu. Tetapi kenapa kau beli tisu wajah warna biru dan tisu toilet motif bunga kayak gini?”

“Aku masih belum ngerti,” kataku, menahan diri. “Keduanya lagi diobral. Lagipula tisu warna biru takkan membuat hidung jadi biru. Lalu apa masalahnya?”

“Tentu saja masalah. Aku tidak suka tisu biru dan tisu toilet motif bunga kayak gini. Masak kamu tidak tahu?”

“Tidak, aku tidak tahu,” jawabku. “Kenapa kau tak suka?”

“Kenapa aku harus tahu alasannya? Aku cuma tidak menyukainya. Itu saja. Kamu juga benci penutup telepon, botol termos yang ada hiasan bunganya, jins cut-bray berpaku keling, dan tak suka kalau kukuku dimanikur. Kau juga tidak bilang alasannya, kan? Cuma masalah selera.”

Sebenarnya, aku bisa menjelaskan alasan tidak menyukai semua yang disebutkannya itu, tapi tak kulakukan. “Baiklah,” sahutku. “Ini cuma masalah selera. Tapi apa benar, selama enam tahun kita menikah, kamu tidak pernah membeli tisu warna biru dan tisu toilet motif bunga?”

“Tak pernah. Sekali pun.”

“Serius?”

“Iya. Tisu yang kubeli kalau tidak warna kuning, merah muda ya putih. Dan tentu saja aku tak pernah membeli tisu toilet bermotif. Aku kaget, kau hidup bersamaku selama ini tapi tidak mengetahuinya?”

Ini memang mengagetkanku, ternyata selama enam tahun ini aku tak pernah sekali pun menggunakan tisu warna biru dan tisu toilet bermotif bunga.

“Dan sekalian kukasih tahu juga,” lanjutnya. “Aku jijik daging ditumis dengan paprika. Apa kau tahu itu?”

“Tidak,” jawabku.

“Ya, begitulah. Dan jangan tanya kenapa. Aku memang tak tahan mencium bau keduanya kalau dimasak dalam satu wajan.”

“Maksudmu, selama enam tahun ini kamu tidak pernah memasak daging dicampur paprika?”

Dia menggeleng. “Aku makan paprika hanya di selada. Biasanya daging kutumis dengan bawang merah. Tapi tak pernah menumis daging dengan paprika.”

Aku menghela napas.

“Apa kau tidak pernah merasa itu aneh selama ini?” tanyanya.

“Aneh? Aku bahkan tidak menyadarinya,” sahutku, diam sejenak, mengingat-ingat lagi, apa benar sejak menikah, aku tak pernah makan tumisan berisi daging dan paprika. Dan tentu saja, aku tak mungkin mengingatnya.

“Kita hidup bersama selama ini,” katanya, “tapi kau sama sekali tidak perhatian padaku. Kau cuma memikirkan diri sendiri.”

“Tunggu dulu,” kataku, mematikan gas dan meletakkan wajan di atas kompor. “ Jangan terlalu jauh. Kau mungkin benar. Mungkin aku tidak terlalu memperhatikan hal-hal seperti tisu, maupun daging dan paprika. Tapi bukan berarti aku tidak memperhatikanmu. Aku tidak peduli pakai tisu warna apa. Ok, memang aku tak suka hitam, tapi warna putih, biru—tidak masalah. Begitu juga daging dan paprika. Mau dicampur, dipisah—siapa peduli? Menumis daging dan paprika bisa saja lenyap dari muka bumi ini, persetan buatku. Tapi ini tak ada kaitannya denganmu, esensimu, hal yang menjadikan Kumiko adalah Kumiko. Apa aku salah?”

Bukannya menjawab, dia malah menghabiskan birnya dalam dua teguk lalu memandangi botol kosong itu.

Aku membuang seluruh isi wajan ke keranjang sampah. Daging, paprika, bawang merah, dan kecambah. Mengerikan. Makanan dalam satu menit, semenit kemudian jadi sampah. Aku membuka bir dan meminum langsung dari botolnya.

“Mengapa kau lakukan itu?”

“Kau membencinya.”

“Tapi kau bisa memakannya.”

“Aku mendadak tidak selera pada daging dan paprika lagi.”

Dia mengedikkan bahu. “Terserahmulah.”

Dia meletakkan tangan di atas meja dan menopangkan wajah di atasnya. Cukup lama dia seperti itu. Dia tidak menangis atau tertidur. Kupandangi wajan kosong di atas kompor, lalu Kumiko, kemudian menghabiskan birku. Gila. Siapa juga yang peduli pada tisu toilet dan paprika?

Tapi aku berjalan ke arah Kumiko lalu menyentuh bahunya. “OK,” kataku, “Aku paham sekarang. Aku takkan membeli tisu warna biru atau tisu toilet motif bunga lagi. Aku janji. Besok akan kukembalikan ke supermarket dan menukarnya. Kalau tak bisa ditukar, akan kubakar di halaman. Abunya kubuang ke laut. Dan takkan ada lagi daging bercampur paprika. Takkan pernah. Begitu bau ini lenyap, kita tak perlu memikirkannya lagi. OK?”

Tapi dia masih diam. Rasanya aku ingin jalan-jalan sebentar dan begitu pulang, dia sudah gembira lagi, tapi aku tahu, itu tak mungkin terjadi. Aku harus menghiburnya.

“Dengar, kamu kelelahan,” ujarku. “Beristirahatlah sebentar lalu kita keluar nyari pizza. Eh, kapan terakhir kali kita makan pizza? Pakai ikan haring dan bawang. Satu bagi dua. Sesekali makan di luar tidak akan membuat kita mati.”

Ini pun tak berhasil. Dia tetap menelungkupkan wajah di antara kedua lengannya.

Aku tak tahu berkata apa lagi. Aku pun duduk lalu memandanginya dari seberang meja. Sebelah telinga menyembul dari rambut hitamnya yang pendek. Dia memakai anting-anting yang tak pernah kulihat sebelumnya, anting emas kecil berbentuk ikan. Di mana Kumiko membelinya? Aku jadi ingin merokok. Kubayangkan diriku mengambil rokok dan pemantik dari saku, menyelipkan rokok di bibir, lalu menyalakannya. Kuhirup udara dalam-dalam. Bau tumisan daging dan sayuran menusuk hidungku. Aku kelaparan.

Kulihat kalender di dinding. Kalender itu bisa menunjukkan perubahan bulan. Bulan purnama akan muncul. Ternyata: ini jadwal menstruasi Kumiko.

Setelah menikah, aku baru sadar kalau aku bagian dari penduduk bumi, planet ketiga dari tata surya. Aku tinggal di bumi, bumi yang mengeliling matahari, dan bumi yang dikeliling oleh bulan. Suka atau tidak, hal itu akan terus berlanjut selamanya (atau apa istilah yang tepat selain seumur hidup). Hal yang mempengaruhiku melihat banyak hal seperti ini tentu saja siklus mestruasi Dua puluh Sembilan hari istriku. Siklus ini berkaitan erat dengan pasang-surut bulan. Dan biasanya menyakitkan. Dia menjadi tidak stabil—bahkan depresi—dari sebelum waktu menstruasi. Siklusnya jadi siklusku juga. Aku harus berhati-hati agar tidak menimbulkan pertengkaran sepele di waktu yang salah tiap bulan. Sebelum menikah, aku tak peduli pada perubahan bulan. Aku memandang bulan di langit, tapi tak memperhatikan bentuknya. Sekarang aku selalu terbayang bentuk bulan.

Aku pernah mengencani beberapa wanita sebelum Kumiko, dan tentu mereka juga mengalami menstruasi. Ada yang merasa sakit, sebagiannya biasa saja, ada yang selesai dalam tiga hari, ada pula lebih dari seminggu, ada yang teratur, ada juga yang terlambat sepuluh hari dan itu menakutkanku; beberapa suasana hatinya murung, yang lain malah hampir tidak merasa apa-apa. Meski begitu, sebelum menikahi Kumiko, aku tidak pernah hidup bersama dengan perempuan lain. Sampai saat itu, buatku siklus alam hanya penanda pergantian musim. Di musim dingin, aku mengenakan mantel, di musim semi waktunya memakai sandal. Menikah bukan hanya hidup bersama tapi juga konsep baru tentang siklusitas: perubahan bentuk bulan. Cuma sekali Kumiko melewatkan siklusnya berbulan-bulan, yaitu ketika hamil.

“Maaf,” katanya, mengangkat wajah. “Aku tak bermaksud melampiaskannya padamu. Aku lelah dan lagi tidak enak hati.”

“Tidak apa-apa,” sahutku. “Jangan sungkan. Kau memang harus meluapkannya biar sedikit lega.”

Kumiko menghela napas panjang, perlahan, menahannya sejenak, lalu mengembuskannya.

“Bagaimana denganmu?”

“Aku?”

“Kau tak pernah menumpahkan kekesalanmu saat lelah. Aku meluapkannya. Lalu mengapa kau tidak?”

Aku menggeleng. “Aku malah tidak sadar”, kataku. “Lucu ya.”

“Mungkin karena kau punya sumur yang dalam di dirimu dan kau berteriak di sana, ‘Raja bertelinga kedelai!’ lalu semuanya baik-baik lagi.”

Aku berpikir sebentar. “Mungkin saja,” sahutku.

Kumiko memandangi botol bir yang kosong lagi. Dia menatap label, mulut botol, lalu memutar leher botol dengan jarinya.

“Aku lagi haid,” katanya. “Itu sebabnya aku merasa tidak enak hati.”

“Aku tahu,” jawabku. “Jangan terlalu dipikirkan. Kamu tidak sendirian. Banyak kuda yang mati ketika bulan purnama.”

Dia menarik tangannya dari botol bir, membuka mulut, dan melihatku.

“Dari mana datangnya cerita semacam itu?”

“Aku membacanya di koran kemarin. Aku berniat bercerita padamu, tapi kelupaan. Wawancara dengan beberapa dokter hewan. Rupanya, kuda sangat dipengaruhi oleh perubahan bentuk bulan—baik fisik maupun emosi. Otak mereka menjadi kacau saat purnama, dan mulai mengalami gangguan fisik. Lalu malam itu juga, banyak yang sakit, bahkan mati. Tak ada yang tahu mengapa bisa terjadi, tapi statistik membuktikan fenomena itu. Para dokter hewan tak sempat beristirahat saat malam purnama. Mereka sangat sibuk.”

“Menarik,” kata Kumiko.

“Saat gerhana matahari bahkan lebih buruk lagi. Bencana terbesar bagi para kuda. Tak terbayangkan banyaknya kuda yang mati saat gerhana matahari. Jadi, aku cuma mau bilang, kalau saat ini, kuda di seluruh dunia lagi sekarat. Dibandingkan itu, tak masalah kau menumpahkan kekesalanmu pada orang lain. Jangan sungkan. Coba pikirkan kuda-kuda yang tengah sekarat itu. Bayangkan mereka terbaring di atas jerami dalam kandang saat bulan purnama, mulut berbusa, dan terengah-engah kesakitan.”

Sejenak dia terlihat memikirkan kuda-kuda yang sekarat di dalam kandang itu.

“Baiklah, kuakui,” katanya dengan nada pasrah, “Kau memang mahir membujuk orang.”

“Kalau begitu,” kataku. “Cepat ganti pakaian lalu kita keluar nyari pizza.”

***
Malam itu, dalam kegelapan kamar, aku terbaring di samping Kumiko, memandang langit-langit dan bertanya pada diri sendiri, seberapa dalam aku mengenal perempuan ini. Jam menunjukkan pukul dua pagi. Tidurnya terdengar pulas. Dalam gelap, aku berpikir tentang tisu warna biru dan tisu toilet bermotif lalu daging sapi dan paprika. Aku hidup serumah dengannya selama ini, tapi tidak tahu kalau dia membenci semua itu. Hal yang sangat sepele. Bodoh. Sesuatu yang harusnya ditertawakan, bukan malah diperdebatkan. Kami pernah bertengkar kecil seperti ini dan melupakannya beberapa hari kemudian.

Tapi kali ini berbeda. Pertengkaran ini mengusikku, menusukku seperti duri ikan yang tersangkut di tenggorokan. Mungkin—hanya mungkin—ini masalah yang gawat, lebih dari yang terlihat. Mungkin ini: pukulan telak. Atau mungkin hanya permulaan dari pukulan telak yang sebenarnya. Mungkin saat ini aku tengah berdiri di depan jalan masuk ke sesuatu yang besar, dan di dalamnya tersembunyi satu dunia yang hanya dimiliki Kumiko, dunia yang luas dan tidak pernah kuketahui. Dunia yang terlihatku sebagai sebuah ruangan besar dan gelap. Aku berdiri di sana sembari memegang pemantik, api kecilnya hanya memperlihatkan sedikit dari ruangan itu.

Apa aku bisa melihat bagian yang lain? Atau aku akan menua dan mati tanpa mengenal Kumiko yang sebenarnya? Kalau memang seperti itu, apa tujuan pernikahan yang kujalani selama ini? Apa tujuan hidup yang sebenarnya jika aku menghabiskannya dengan tidur bersama orang yang tidak kukenal? 

***.

Aku terus memikirkan masalah ini sepanjang malam dan hari-hari berikutnya. Lama setelahnya baru kusadari kalau aku telah menemukan jalan menuju inti dari permasalahan itu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Pengharapan tidak pernah Mengecewakan. Tetap Semangat!