RSS

THE WIND-UP BIRD CHRONICLE

 SURAT KUMIKO


(diterjemahkan dari novel: The Wind-up Bird Chronicle bagian 3 bab 38 edisi terjemahan oleh Jay Rubin)

Begitu banyak yang ingin kuceritakan padamu. Tapi akan butuh waktu yang lama untuk menceritakan semuanya—bahkan mungkin bisa bertahun-tahun. Seharusnya aku mengungkapkan rahasia ini padamu sejak dulu, mengakui semuanya dengan jujur, tapi sayangnya, aku tak punya keberanian sedikit pun. Dan aku terus menyimpan harapan kosong kalau segalanya tidak akan memburuk. Tapi ternyata semua ini menjadi mimpi mengerikan buat kita berdua. Semua ini salahku. Tapi sudah sangat terlambat untuk menjelaskannya padamu. Kita tak punya cukup waktu. Jadi lewat surat ini aku ingin menceritakan padamu hal yang paling penting.

yaitu, aku harus membunuh saudara laki-lakiku, Noboru Wataya.

Aku akan pergi ke rumah sakit dan masuk ke ruangan di mana dia tengah tertidur, lalu mencabut semua peralatan medis yang menyokong hidupnya. Sebagai adiknya, aku pasti diijinkan bermalam untuk menjaganya menggantikan perawat. Aku akan menunggu sampai tak seorang pun menyadari kalau alat bantunya sudah lepas. Dokter pernah menunjukkan cara kerja alat itu padaku. Aku bermaksud menunggu dan memastikan dia benar-benar mati, setelahnya aku akan menyerahkan diri pada polisi. Aku akan bersaksi telah melakukan yang seharusnya kulakukan dan tidak akan memberi keterangan lebih dari itu. Kemungkinan aku akan ditangkap di tempat kejadian atas percobaan pembunuhan. Awak media akan menerobos masuk, dan masyarakat akan memberikan opini atas peristiwa ini dengan bangga dan kejadian semacamnya. Tapi aku akan tetap bungkam. Tidak akan memberikan penjelasan atau pembelaan diri apa pun. Hanya ada satu kebenaran atas semua ini, yaitu aku ingin menghabisi nyawa satu-satunya manusia, yaitu Noboru Wataya. Mereka mungkin akan memenjarakanku tapi kemungkinan itu tidak membuatku takut. Aku pernah melalui hal yang lebih buruk.

**

Kalau bukan karenamu, mungkin aku telah kehilangan akal sehat sejak lama. Mungkin aku akan menyerahkan diriku, yang hampa ini, ke tangan orang lain dan terjatuh ke titik terdalam tanpa harapan atau tanpa kemungkinan untuk pulih kembali. Saudara laki-lakiku, Noboru Wataya, melakukan hal itu juga pada kakakku bertahun-tahun yang lalu, dan akhirnya dia bunuh diri. Dia memperkosa kami berdua. Pada hakekatnya, dia tidak memperkosa tubuh kami. Dia melakukan yang lebih buruk dari itu.

Kebebasan melakukan apa pun telah dirampas dariku, dan aku mengunci diri dalam ruang gelap, sendirian. Tak seorang pun yang memborgolku atau mengawasiku, tapi tetap saja aku tidak bisa kabur kemana pun. Noboru mengekangku dengan borgol dan pengawas yang lebih kuat—yaitu diriku sendiri. Diriku sendirilah yang mengikat kakiku, dan menjadi pengawas yang tidak pernah tidur itu. Tersembunyi dalam diriku, tentu saja, ada aku yang lain yang ingin melepaskan diri dari tempat itu tapi pada saat yang sama, aku yang lain itu terlalu pengecut, aku yang keji telah membuang semua harapan untuk dapat keluar dari sana, dan aku yang pertama tidak akan pernah mengalahkan aku yang lain itu karena diriku yang seutuhnya telah diperkosa, tubuh maupun pikiranku. Aku telah kehilangan kesempatan untuk kembali padamu—bukan karena aku telah diperkosa oleh Noboru Wataya, saudaraku sendiri, tapi lebih dari itu, aku telah mengotori diriku sendiri tanpa menyisakan apa pun.

Dalam surat sebelumnya aku menulis telah tidur dengan lelaki lain, tapi itu bukan yang sebenarnya. Dalam surat ini aku akan mengaku padamu. Aku tidur tidak hanya dengan satu lelaki. Aku tidur dengan banyak lelaki. Terlalu banyak untuk bisa dihitung. Aku sendiri tidak tahu apa yang mendorongku melakukan kenistaan semacam itu. Bila ditelusuri lagi, kupikir karena pengaruh saudaraku itu. Dia telah membuka laci tersembunyi dalam diriku, menarik keluar sesuatu yang sukar dimengerti, dan memaksaku menyerahkan tubuhku, berpindah dari satu lelaki ke lelaki yang lain. Saudaraku memiliki kekuatan, dan meskipun aku benci mengakuinya, kami berdua sama-sama terikat di suatu tempat yang teramat gelap.

Dalam banyak hal, seiring Noboru berusaha memerkosaku, aku telah mengotori diriku sendiri sampai tidak ada yang tersisa. Akhirnya, aku terjangkit penyakit kelamin. Meski begitu, seperti yang kutulis dalam surat sebelumnya, aku tidak pernah merasa bersalah karena telah menyakiti hatimu sebegitu dalam. Apa yang kulakukan terasa alami—tapi aku berpikir kalau yang tega melakukan semua ini bukan diriku yang sebenarnya. Benarkah demikian? Apa jawabannya sesederhana itu? Dan kalau benar, lalu, siapa diriku yang sebenarnya? Apakah aku bisa meyakinkan kalau aku yang tengah menulis surat ini merupakan diriku yang sebenarnya? Aku tidak pernah bisa benar-benar yakin mengenai hal itu, bahkan sekarang pun tidak. 

**

Aku selalu memimpikanmu—mimpi yang terasa nyata dalam potongan-potongan adegan yang jelas. Dalam mimpi itu, kau terus mencariku dengan putus asa. Kita berada dalam suatu labirin, dan kau hampir mencapai tempatku berdiri. “Satu langkah lagi! Aku di sini!” Aku ingin berteriak, dan seandainya kau berhasil menemukan dan meraihku dengan kedua tanganmu, mimpi buruk ini akan berakhir dan segalanya akan kembali seperti sedia kala. Tapi aku tidak bisa berteriak sama sekali. Dan kau melewatkanku, terus berjalan lalu menghilang dalam kegelapan. Selalu seperti itu. Akan tetapi, tetap saja, mimpi-mimpi itu telah menguatkanku. Setidaknya aku masih bisa bermimpi, kataku. Saudaraku tidak akan bisa mencegahku untuk terus bermimpi. Aku bisa merasakan kalau kau terus berusaha sekuat tenaga untuk bisa menggapaiku. Suatu hari kau akan berhasil menemukanku, menggenggamku, menghapus kotoran yang melekat erat dalam diriku dan membawaku pergi dari tempat itu selamanya. Kau akan menghancurkan kutukan itu dan membuka segelnya sehingga aku yang sebenarnya tidak akan pernah meninggalkan diriku lagi. Begitulah caraku menjaga sepercik api harapan tetap menyala dalam ruangan tanpa jalan keluar yang gelap dan dingin itu—caraku untuk terus memelihara sedikit sisa suara nuraniku sendiri.

Aku mendapatkan kata kunci untuk bisa terhubung dengan komputer ini tadi siang. Seseorang mengirimkannya padaku dengan paket khusus. Aku mengirimkan pesan ini padamu dari mesin di kantor saudara laki-lakiku. Aku sangat berharap kau menerima surat ini.

**

Waktuku hampir habis. Taksi sudah menungguku di luar. Aku harus ke rumah sakit sekarang, membunuh saudara laki-lakiku dan menerima hukuman. Aneh sekali, tapi aku tidak lagi membenci dia. Perasaanku tenang dan merasa kalau aku memang harus melenyapkan hidupnya dari dunia ini. Aku melakukan ini  demi kebaikannya juga. Dan untuk memberi sedikit arti bagi hidupku.
Tolong rawat kucing itu. Sungguh aku sangat gembira mendengar kabar kalau dia telah ditemukan. Kau bilang namanya Mackerel? Aku menyukai nama itu. dia selalu menjadi lambang bahwa sesuatu yang baik pernah tumbuh di antara kita. Seharusnya kita tidak membiarkannya menghilang dulu.

**

Aku tidak bisa berpanjang-panjang lagi. Selamat tinggal.



The Wind-up Bird Chronicle
Murakami, Haruki
1997

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Pengharapan tidak pernah Mengecewakan. Tetap Semangat!