RSS

ATHEIS

PENULIS : ACHDIAT K. MIHARDJA
PENERBIT : BALAI PUSTAKA (2001)
ISBN : 9794071854
232 HALAMAN


Cerita Atheis mengambil setting kota Bandung sekitar tahun 1940-an, yaitu jaman peralihan dari penjajahan Belanda ke Jepang, suatu masa di mana paham komunis mulai berkembang di Indonesia. Atheis bercerita tentang perjalanan spiritualitas Hasan, seorang pemuda keturunan Weda (Raden) yang menganut aliran Tarekat. Kedua orang tuanya berguru pada Kiyai Mahmud, seorang guru spiritual di sebuah pesantren di Banten. Sejak kecil Hasan dididik dalam ajaran agama yang taat. Hasan sering mendengar dongeng tentang surga dan neraka dari Ibunya dan Siti, pengasuhnya, dan kisah itu melekat dalam dirinya bertahun-tahun kemudian. Setelah bekerja di jawatan instalasi air pemerintahan Jepang, Hasan memutuskan untuk mengikuti jejak orang tuanya, memeluk ilmu yang mereka anut dan sering melakukan beberapa ritual, seperti berpuasa sampai tujuh hari tujuh malam, mandi di Kali Cikapundung sampai empat puluh kali selama satu malam, serta mengunci diri dalam kamar selama tiga hari tiga malam tanpa makan, tanpa tidur dan tidak bertemu dengan orang lain.

Suatu ketika, Hasan bertemu dengan Rusli, teman semasa kecilnya, dan adik angkat Rusli, Kartini. Kartini mengingatkan Hasan akan kisah cintanya yang pernah kandas, Rukmini. Dia pun jatuh hati pada gadis itu sejak kali pertama melihatnya. Rusli dan Kartini merupakan penganut paham Marxisme dengan wawasan luas dan bergaya hidup bebas. Semula Hasan bertekad untuk menginsafkan mereka--terlebih lagi Kartini, karena dia mengangankan perempuan itu menjadi calon pendampingnya kelak. Namun dalam perdebatan, justru Hasan yang merasa “rendah diri” karena tidak mampu menjangkau hal-hal yang diperbincangkan Rusli. Hasan tidak dapat mematahkan atau membantah argumentasi Rusli yang berkata bahwa tuhan merupakan ciptaan dari ketidaksempurnaan manusia. Hasan merasa jengah namun tidak bisa melepaskan diri dari pergaulan yang dianggapnya sesat itu karena hatinya telah terpaut pada Kartini. Dia mulai terlibat dalam banyak pertemuan kelompok Marxisme, dan perlahan-lahan menyerap pola hidup dan cara pandang mereka. Dalam salah satu pertemuan, Hasan berkenalan dengan Anwar, seorang pemuda penganut Nihilisme yang (terlalu) banyak bicara, yang kelak menjadi pemicu munculnya masalah-masalah dalam kehidupan Hasan, mulai dari pertengkaran dengan kedua orang tuanya, sampai kehancuran rumah tangganya yang baru berusia tiga tahun.

Pilihan yang didasarkan pada suatu hal yang rapuh hanya mendatangkan kekecewaan, demikian pesan yang saya tangkap dari roman ini. Hasan memilih meninggalkan agama yang dianutnya sejak kecil dengan keragu-raguan. Dia menjadi bagian dari suatu kelompok bukan karena “menemukan” hal-hal yang telah mengubah cara pandangnya, tetapi dikarenakan kenangan masa lalu yang ditemukannya kembali pada Kartini.

Pada dasarnya memeluk suatu kepercayaan adalah hak azasi setiap individu. Namun sebagian besar dari kita memeluk agama karena mewarisinya dari orang tua kita sejak lahir. Demikian pula yang berlaku pada Hasan, tokoh protagonis dari roman yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1949 ini. Dalam Atheis, Achdiat menuliskan kritik mengenai kecenderungan kehidupan beragama dalam masyarakat yang dogmatis dengan cukup berani. Penulis bercerita bagaimana seseorang sejak kecil sering “ditakut-takuti” dengan cerita tentang surga dan siksa neraka. Lalu penerimaan sepenuhnya akan jawaban seseorang yang dipercaya sebagai guru meski sama sekali tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Serta perilaku pembenaran atas tindakan tidak benar berlandaskan agama, seperti dalam kutipan berikut;
Aku berbohong, tidak biasa berbohong. Tapi tidak mengapa, agama pun memperkenankan bohong kalau memang perlu untuk keselamatan agama dan sesama hidup (hal. 41)

Lebih jauh lagi penulis juga melontarkan kritik tentang fanatisme yang berlebihan seperti memantangkan untuk menonton bioskop, termasuk perasaan “sempurna” yang muncul dan terkadang membuat seseorang menjadi agak demonstratif dan propagandistis (hal 23).

 Novel ini menghadirkan banyak pertanyaan perihal eksistensi tuhan dalam kehidupan manusia, juga perbenturan antara ketradisionalan dengan modernitas, yaitu kepercayaan yang (terasa) gaib dengan pemikiran-pemikiran realis yang mengedepankan logika. Dialog-dialog seputar agama dan ketuhanan dalam roman ini sangat menarik untuk disimak. Sayangnya, saya merasa sedikit “tidak puas” akan akhir cerita roman ini.

Dalam membaca, saya terkadang mempunyai kecenderungan untuk berandai-andai, semisalnya tokoh A tidak ada dalam cerita, lalu apa yang akan terjadi? Atau bila B tidak bertemu dengan C, mungkinkah konflik cerita akan seperti itu? Demikian juga ketika membaca novel ini. Saya sedikit terusik dengan kemunculan tokoh Anwar. Saya merasa tokoh ini menggiring pembaca untuk berprasangka. Anwar digambarkan sebagai penganut Marxisme dan nihilis yang anarkis, kasar, suka mengambil sesuatu yang bukan haknya, dan menganggap dirinya sebagai tuhan itu sendiri. Tokoh Anwar pula yang menjadi pemicu kesengsaraan bertubi-tubi dalam kehidupan Hasan.

Di awal kisah, Hasan terpengaruh dan terlibat dalam kelompok Atheis karena kecondongan hatinya pada Kartini. Kemudian saya berandai, semisal tokoh Anwar tidak ada, apakah pertengkaran yang hebat antara Hasan dan kedua orang tuanya (pada saat kunjungannya ke Panyeredang bersama Anwar) akan terjadi atau Hasan akan tetap berlaku munafik di depan orang tuanya? Seandainya tokoh Anwar tidak ada, apakah api cemburu akan muncul dan merusak rumah tangga Hasan? Apakah perasaan berdosa dan ketakutan masa kecil Hasan pada siksa neraka akan muncul dan menghantuinya?

Alih-alih menjelaskan lebih mendalam tentang ideologi Marxisme dan bagaimana para pemuda pada masa itu terseret dalam arus paham tersebut, penulis justru menghadirkan akhir hidup si tokoh yang tragis, seolah-olah penulis ingin menggiring (kalau tidak bisa dikatakan menggurui) pendapat pembaca bahwa orang yang meninggalkan agamanya akan celaka. Sepertinya penulis mempunyai beban moral untuk menghadirkan pesan-pesan yang bersifat mendidik dalam tulisannya yang memang bermuatan kontroversi ini.

Atheis menggunakan alur maju-mundur-maju dengan sudut pandang orang pertama “aku” yang berbeda, yaitu pertama“keakuan” dari tokoh “aku” (tidak dijelaskan lebih lanjut siapa tokoh aku ini) yang diserahi naskah oleh Hasan tentang perjalanan hidupnya, dan yang kedua “keakuan” tokoh Hasan yang bercerita lewat naskah yang ditulisnya. Bahasa yang digunakan banyak dipengaruhi bahasa Sunda. Pada tahun 1972, novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R. J. Macguire untuk kepentingan proyek UNESCO Collection of Representative Works. Tahun 1974 Atheis diangkat menjadi film dengan judul yang sama (Sayangnya, saya belum menontonnya).

Tiga bintang dari lima bintang untuk buku ini. Roman yang tergolong berani karena membahas hal-hal yang sangat sensitif pada jamannya dan (mungkin) juga pada sampai sekarang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Pengharapan tidak pernah Mengecewakan. Tetap Semangat!