RSS

DADDY LONG-LEGS


Begitu selesai membaca novel Daddy Long Leg, mendadak saya ingin menulis surat. Surat itu akan saya tujukan kepada seseorang yang tidak saya kenal (harus yang tidak saya kenal, karena saya pasti malu bila mengetahui bahwa pembaca surat saya adalah orang yang pernah saya temui atau saya kenal. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rautnya saat menahan tawa karena isi surat saya yang pasti terlihat sangat lucu). Saya akan menulis "dear tuan yang namanya tidak saya ketahui" atau "dear tuan yang tidak pernah saya temui bahkan dalam mimpi sekalipun" sebagai salam pembuka.

Sebagai isi surat, mungkin saya akan menulis tentang... (sebentar, beri saya waktu untuk berpikir), ah, saya hampir kehilangan akal karena ternyata pengalaman saya tidak lebih menarik dari Jerusha Abbot atau yang biasa disebut Judy. Saya pikir, dia tidak begitu malang seperti yang ditulisnya dalam surat-suratnya karena pernah tinggal di Panti Asuhan John Grier dan menghabiskan banyak waktu antara mengelap hidung anak-anak yang lain--pada hari rabu pertama dalam setiap bulan dan kesibukan-kesibukan lainnya untuk menyambut kedatangan para tuan dewan yayasan--dan untuk kegiatan belajar atau kegiatan untuk dirinya sendiri. Tidak, saya bukan sedang berusaha membuat gadis serba berterus terang itu semakin jengkel dengan menyinggung masa muda yang selalu dianggapnya tersia-sia, hanya karena dia merasa tidak mengetahui banyak hal seperti gadis-gadis lain di kampusnya di tahun pertama.

Saya rasa, kau pasti akan berpikir yang sama dengan saya begitu mengetahui kalau Judy telah melewati banyak pengalaman menarik sejak mendapat tawaran melanjutkan kuliah atas biaya seorang laki-laki--salah satu dari dewan yayasan yang tidak dikenalnya--baik hati, yang selalu berusaha membuat dia terlihat tidak terlalu berbeda dengan gadis-gadis lain. Laki-laki itu tidak sakit hati ketika Judy mengungkapkan ketidaksukaannya akan Panti Asuhan John Grier. Dia juga tidak marah ketika Judy mengembalikan 17 hadiah natal yang dikirimkannya, atau ketika Judy melanggar larangan-larangannya untuk tidak mengajar privat, atau menerima bea siswa di tahun ketiganya di universitas, meskipun dia berhak melakukannya.

Ah, sepertinya surat-surat saya pasti tidak akan lebih menarik dari surat-surat yang ditulis Judy. Surat-surat yang terdengar konyol tapi menarik kalau menurut saya. Coba kau bayangkan, bagaimana bisa dia, maksud saya Judy, bercerita pada seorang laki-laki--yang saya dan dia tebak pastilah seorang pria berumur, yang jangkung, yang baik hati, tapi sedikit konvensional karena tidak mau mengunjungi Judy meski pada hari kelulusannya--tentang cuaca, rasa irinya melihat stoking sutra milik Julia, atau perasaan tidak sukanya akan Mrs Lippert, Matronnya di Panti Asuhan dulu. Dia juga mengeluhkan tentang ujian dua mata kuliahnya yang gagal, atau tentang pelajaran renangnya yang memang sangat aneh itu.

Benarkan apa yang saya katakan sebelumnya? Judy bukan anak perempuan malang meski dia berasal dari Panti Asuhan. Dia malah bisa dikatakan anak perempuan yang beruntung, dan saya juga beruntung bisa membaca surat-surat pribadinya buat Tuan Daddy Log Leg yang misterius itu, dan sepertinya saya akan mulai memikirkan akan menulis apa dalam surat yang akan saya mulai dengan "dear tuan yang namanya tidak saya ketahui" atau "dear tuan yang tidak pernah saya temui bahkan dalam mimpi sekalipun" sebagai salam pembuka.

Baiklah, saya tidak mau membuang-buang waktu, saya akan mulai memikirkan isi surat saya dan kemana  kelak saya akan mengirimkannya (Ini juga penting, karena seperti yang saya katakan sejak tadi, saya tidak mau mengirimkan pada orang yang saya kenal atau pernah saya kenal apalagi yang pernah mengantri bersama saya di sebuah supermarket yang ramai. Itu pasti sangat memalukan). Sebelumnya saya mau mengucapkan turut bergembira buat Judy yang mendapat kejutan luar biasa yang membahagiakan (saya tidak akan mengatakan padanya kalau saya bisa menebak siapa Daddy Long Legs itu sejak di tengah-tengah cerita. Saya tidak mau merusak kebahagiaannya).

Tiga bintang buat surat-surat Judy yang menarik, buat penterjemah dan juga editor (meski saya menemukan beberapa typo, tapi tidak terlalu masalah), dan tentu saja buat si penulis.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

JAMES DAN PERSIK YANG BESAR

Sebenarnya cerita yang ditulis Roald dahl ini menarik. Sangat cocok dibaca anak-anak. Penuh fantasi. Bayangkan saja, ada buah persik yang tumbuh dan terus-menerus membesar. Di dalamnya terdapat satu terowong yang mempertemukan James dengan beberapa binatang (yang semestinya bertubuh kecil) seukuran tubuh manusia. Lalu ada kisah tentang perjalanan panjang yang penuh keanehan dari negeri Inggris hingga sampai di Amerika. James yang sebatang kara mempunyai pengalaman yang luar biasa dalam buah persik itu yang kelak diceritakannya kepada seluruh anak dunia, sehingga dia tidak akan pernah merasa kesepian lagi, seperti ketika dulu tinggal bersama kedua bibinya yang jahat, Sponge dan Spiker.

Ceritanya menarik bukan? Tapi seperti yang saya kemukakan sebelumnya, mungkin gaya yang seperti ini tidak cocok dengan saya. Saya hanya membaca tapi tidak sampai terseret ke dalam cerita.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MANJALI DAN CAKRABIRAWA


Jika kebetulan-kebetulan terjadi terlalu banyak dan cocok satu sama lain, apakah kita tetap percaya bahwa itu adalah serangkaian kebetulan belaka? (Hal. 18)

Menurut saya, kutipan di atas merupakan inti dari novel setebal 251 halaman ini. Dalam novel ini, ada banyak kebetulan yang menautkan setiap peristiwa/hal, jalin menjalin menjadi cerita misteri berbumbu dongeng nusantara dan peristiwa tahun 65.MIsalnya saja, k
ebetulan Marja dititipkan pacarnya, Sandhi Yuda pada Parang Jati yang akan mengikuti pelatihan panjat tebing dengan kesatuan militer yang kebetulan sangat dibenci sahabat bermata bidadarinya itu. Kebetulan pula Parang Jati menatap Marja lebih dari satu detik (setelah selama setahun mereka bertiga menjalin pertemanan yang tidak biasa???) tepat ketika kereta yang membawa Yuda ke Bandung hilang dari pandangan, dan Marja tiba-tiba merasakan getaran pada dada lalu naik ke wajahnya. Kebetulan nama lengkap Marja adalah Marja Manjali, nama putri dari ratu teluh, Calwanarang yang menjadi nama candi, obyek penelitian ilmuwan tua dari Perancis, Jacquez Cherer. Kebetulan pula salah satu prasasti yang ditemukan bernama Bhairawa Cakra, sama dengan nama pasukan elite Presiden Soekarno yang menorehkan luka bagi warga desa. 

Kebetulan lainnya, Sandhi Yuda berkenalan dengan Letnan Satu Musa Wanara yang terobsesi mencari ilmu atau ngelmu dan menyimpan potongan kain tua hijau tentara dengan lencana militer bertuliskan Tjakrabirawa. Kebetulan sejak lama dia ingin mendapatkan mantra Bhairawa Cakra yang tertulis pada prasasti yang ditemukan Parang Jati (dan secara tak sengaja diceritakan oleh Yuda ketika mereka makan malam di warung tenda mi instan di tepi jalan). Dan Musa Wanara meminta imbalan atas jasanya membantu Yuda memperoleh ijin agar kuliahnya tidak gagal.

Secara kebetulan pula Marja bertemu seorang ibu tua yang bercerita tentang Banaspati yang semula dikiranya adalah jelmaan siluman yang pernah mendatanginya dalam wujud Jacquez tua. Nama ibu itu Murni, seorang perempuan buangan yang mengalami kepahitan karena terlibat dengan PKI dan Gerwani. Dia memiliki kenangan dengan lagu Danny Boy, yang dipopulerkan Jim Reeves,Panon Hideung, dan Iwan Fals yang kebetulan diputar Parang Jati dalam mobil saat mengantar ibu tersebut pulang. Suatu kebetulan pula karena ternyata candi Calwanarang dan dongengnya memiliki benang merah dengan masa lalu Bu Murni.

Ah, terlalu banyak kebetulan yang (bagi saya) terasa terlalu dipaksakan, sampai saya sendiri merasa bosan untuk menguraikannya. Mungkin saja bila kebetulan-kebetulan tersebut tidak terjadi dan terjalin, maka tidak akan ada novel yang memasukkan unsur sejarah, mistisme, percintaan (dan ini sepaket dengan birahi??) serta dongeng nusantara ini. Ayu menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu sebagai pencerita, dan saya cukup merasa terganggu dengan narasi yang dimulai dengan kata "kelak...(dan bla-bla-bla)". Orang ketiga tersebut menjadi tuhan bagi cerita dan memiliki otoritas penuh untuk mengatur segala sesuatu (sehingga menjadi kebetulan-kebetulan yang terjalin menjadi cerita). Ayu juga sering mengulang-ulang narasi seolah takut pembaca melewatkan penjelasan di bagian sebelumnya. Bila hanya mengulang sedikit, mungkin tidak menjadi soal, namun dia menuliskannya kembali, utuh di halaman dan bab yang berlainan.

Hal lain yang mengganggu saya adalah unsur sejarah dalam buku ini seperti hanya tempelan. Okelah, di bagian akhir dijelaskan sehingga perasaan terganggu tersebut tidak beralasan, karena ternyata semuanya saling berhubungan. Tapi tetap saja terasa kurang (bagi saya). Masih mentah.

Sudah banyak penulis-penulis lain mengangkat peristiwa kelam tahun 65 sebagai tema cerita mereka (sepertinya saya mulai bosan karena banyak yang menggunakannya cuma sebagai asesoris cerita), dan Ayu melengkapi kebosanan saya ini. Cerita Murni, Musa dan Cakrabirawa sangat berjarak dari pembaca, tidak menimbulkan perasaan tergetar apalagi tersentuh (seperti yang dirasakan Marja). Dan satu lagi, penulis sepertinya berusaha mendoktrin pembaca untuk sepaham dengannya lewat narasi-narasi penuh kebencian (Saya rasa apa yg dilakukan Ayu tidak jauh berbeda dengan buku pelajaran Sejarah yang selama ini mendoktrin generasi muda untuk mengutuk PKI, hanya ini berlainan haluan).

Dan hal yang paling membuat saya mengerutkan kening, ketika penulis mengaburkan makna cinta dan seks. Penulis menyatukan kedua hal itu menjadi satu paket. Ketika Marja jatuh cinta maka ia ingin mengepaskan kaki-kakinya pada pinggul Parang Jati. Karena Yuda tidak cinta pada salah satu gadis trio macan, maka dia tidak bersetubuh. Well, saya memang tidak mengagungkan cinta tapi saya pikir cinta juga bukan melulu tentang seks.

Tapi ada beberapa hal yang menjadi nilai plus buku ini. Hal yang juga membuat saya memutuskan memberi bintang tiga. Saya suka cerita mengenai candi-candinya, juga cerita mistis tentang kemunculan siluman berwujud Jacquez tua. Saya suka cerita Banaspati yang dituturkan Bu Murni. Saya juga menyukai bagian akhir ketika narator berganti menjadi orang pertama yaitu Bu Murni ketika akhirnya makam suaminya ditemukan (lihat hal 237 dan 238)

Apapun itu, semua pendapat saya ini hanya berdasarkan pengalaman selama membaca buku dengan sampul yang merupakan hasil lukisan si penulis sendiri




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

THE KEY


Judul: The Key
Penulis: Juni'chiro Tanizaki
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta (2012)
Halaman: 200 hal



Sungguh cara berkomunikasi yang aneh, kata saya saat membaca buku ini. Bagaimana tidak, ketika kebanyakan orang menulis buku harian untuk menyimpan cerita-cerita pribadi yang dianggap paling rahasia, suami istri ini malah menggunakannya untuk bisa saling berkomunikasi, saling mengungkapkan keluh kesah masing-masing. Ya, mereka menulis buku harian bukan untuk saling menyembunyikan namun untuk berharap agar dibaca oleh pasangannyanya.


Seorang professor tua menyampaikan ketidakpuasannya terhadap Ikuko, istrinya dalam buku harian. Dia tidak membatasi cerita tentang hal-hal yang menyenangkan saja, karena merasa Ikuko terlalu kuno untuk berbicara mengenai hubungan intim meski telah menjalani pernikahan selama 20 tahun. Selain itu, dia juga bercerita tentang kecemasannya perihal stamina fisik yang kian menurun dan ketidakmampuannya mengimbangi stamina istrinya. Sementara sang istri, Ikuko, menulis alasan-alasan mengapa dia bersikap dingin dan kaku dalam buku hariannya. Tradisi kesopanan dan didikan orang tua mengharuskan Ikuko menjadi perempuan yang diam dan malu-malu. Dalam buku harian tersebut, Ikuko juga menyampaikan bahwa pernikahan mereka adalah sebuah kesalahan dan dia sangat membenci suaminya. Mereka saling memanipulasi, saling mencurigai namun di lain pihak saling ingin menguji cinta masing-masing. 

Keadaan semakin runyam ketika Kimura muncul di antara mereka. Anehnya, kehadiran Kimura seolah-olah diinginkan. Melalui perasaan cemburu, si professor memunculkan imajinasi-imajinasi erotisnya untuk memberikan rangsangan juga meningkatkan gairah dan staminanya. Dia merasa gagah ketika berhasil menjelajahi dan mengenali setiap jengkal tubuh Ikuko tanpa ada perasaan ditolak. Padahal awalnya Kimura hendak dijodohkan dengan Thosiko, anak perempuan semata wayang, yang cerdas namun berpenampilan tidak menarik. Walaupun tokoh "aku" menuding istrinya kuno, namun secara sepihak dia menuntut sang istri untuk patuh terhadap kemauannya tanpa mau mengerti akan karakter istrinya sendiri yang tidak meletup-letup.

Meski bercerita tentang khayalan dan perilaku seksual sepasang suami istri, The key bukan lantas menjadi novel erotis yang vulgar dan tidak berarti sama sekali. Lewat novel ini Tanizaki bukan hanya menggambarkan perbenturan perihal perbincangan perilaku seksual (yang sebenarnya sangat manusiawi) dengan tradisi moralitas kuno dalam masyarakat Kyoto, namun juga sisi psikologis setiap tokoh dalam menghadapi permasalahan rumah tangga dengan berbagai kepentingan. Tidak hanya ada "aku" dan Ikuko, namun ada Kimura, dan Toshiko yang terlihat seperti terpisah dari kemelut tersebut namun justru menjadi "pengatur" setiap peristiwa, tentu saja dengan kepentingan tersendiri pula. Mereka saling menjatuhkan, saling mencurigai, saling memanipulasi, bahkan menipu diri sendiri sampai salah satu di antara mereka hancur. Dan justru pada akhirnya, masing-masing tokoh tidak mengindahkan norma yang berlaku demi memenangkan "pertandingan" tersebut.

Novel ini berbentuk buku harian yang ditulis bergantian oleh si Professor dan istrinya. Saya tidak mengalami kesulitan berarti ketika membaca novel setebal 198 halaman ini. Hasil terjemahan lumayan nyaman dan saya hampir tidak menemukan typo di dalamnya. Namun sangat disayangkan, sampul novel ini justru menurunkan poin penilaian karena sangat tidak sedap dipandang mata (gambar perempuan jepang memakai kuno dengan latar merah). Saya tidak tahu pertimbangan apa sehingga penerbit cenderung memakai foto perempuan sebagai sampul (saya tidak hanya menemukannya dalam novel ini, juga di beberapa novel terjemahan lainnya). Semisal calon pembaca tidak tahu siapa Tanizaki atau tidak mendapat rekomendasi dari orang lain mungkin novel ini akan menjadi pilihan terakhir atau bahkan tidak dipilih sama sekali. Dan ya ampun, apa-apaan ini, sub judul yang diberi justru membuat calon pembaca berpikir ulang untuk mengambil novel ini dari deretan rak di toko buku. Catatan Harian Seorang Istri Penuh Gairah dan Seorang Suami Pencemburu, saya seperti sedang membaca koran murahan yang tidak punya berita dan menjual cerita kosong dengan judul memualkan. Atau ini mirip sinetron atau film-film lokal yang justru tidak menimbulkan minat karena judul sudah terlalu telanjang. Tapi apa pun itu, pihak penerbit pasti memiliki banyak pertimbangan yang mungkin tidak saya mengerti.


Saya beri empat bintang, tapi bukan untuk sampul buku dan sub judul yang sebenarnya tidak penting kalau menurut saya.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KOTA TUA


Judul: Kota Tua (The Old Capital)
Penulis: Yasunari Kawabata
Penerbit: Alinea (2006)
Halaman: 196 hal


Saya memberi bintang tiga dari lima untuk buku ini dengan berat hati. Bukan karena karya Yasunari Kawabata, si peraih nobel sastra tahun 1968 ini tidak bagus dalam kacamata saya, tapi karena terjemahannya yang sangat (teramat) membuat lelah, untuk mata dan kepala. Ada banyak kejanggalan dalam susunan kalimat. Saya sampai bosan dan terkantuk-kantuk saat mulai membaca. (Saya berharap ada penerbit yang mau mendengar keluh kesah ini sehingga di kemudian hari, buku terjemahan yang sampai ke tangan saya lebih bisa terasa nyaman (hahaha... sekalian curhat).

Novel ini bercerita tentang Chieko, gadis berusia 20 tahun yang mengetahui bahwa dia bukan anak kandung Takichiro Sada dan Shige. Cerita ini didengarnya dari sang ibu ketika duduk di sekolah menengah. Berdasarkan penjelasan kedua orang tuanya yang berbeda-beda, dia mendengar pengakuan bahwa dia diculik dan dilarikan dalam sebuah mobil. Tapi Chieko tahu dia adalah anak yang dibuang di depan toko Sada.

Ketika dia pergi ke Takao untuk melihat bunga maple bersama Masako, mereka memutuskan pergi ke kampung pohon aras Kitayama. Di sana mereka melihat seorang gadis-yang berpakaian menyerupai perempuan Ohara-yang mirip sekali dengan Chieko. Nama gadis itu Naeko. Saudara kembar Chieko yang terpisah sejak lahir.

Novel ini cantik sekali dengan detail daerah-daerah dan budaya Jepang yang menawan. Festival Hollyhock dan perawan suci, Festival Api, Upacara Pemotongan Bambu,keheningan kuil biara di Saga, Kereta Bunga dan perubahan peradaban sejak zaman Meiji, Kampung Kitayama, Kimono, dsb diceritakan dengan sangat cantik dan puitis. Samar-samar saya menangkap keindahan dalam kesederhanaan narasi (dan lagi-lagi saya mengumpat karena terjemahan membuat saya terseok-seok menikmatinya). Datar. Tapi mampu mengaduk-aduk emosi pembaca. Saya ikut merasakan haru Chieko dan Naeko ketika bertemu diam-diam di puncak gunung dan saling berpelukan erat ketika hujan turun disertai guntur.

Mungkin novel ini memang tidak mengutamakan konflik yang berbelit-belit. Tidak ada penyelesaian untuk setiap konflik. Cinta Hideo terhadap Chieko yang dialihkan pada Naeko. Ryusuke yang meminta ijin untuk membantu usaha toko grosir Sada demi bisa berdekatan dengan Chieko, persahabatan Chieko dengan Shin'ichi yang memunculkan pertanyaan apakah Chieko menyukai anak festival itu, atau Naeko yang menolak untuk tinggal dengan Chieko dan keluarganya dengan alasan sentimentil. Cerita berakhir dengan banyak pertanyaan. Dalam novel Kota Tua ini, Kawabata lebih banyak bercerita tentang kecemasan identitas, hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, perubahan tatanan masyarakat Jepang dengan menggunakan karakter dan setting yang sangat mendetail.

Sekali lagi, saya memberi bintang tiga bukan karena saya tidak menyukai ceritanya, tetapi karena hasil terjemahan yang sering menyesatkan saya dan menyamarkan keindahan sebenarnya. Saya yakin, keindahan Kota Tua lebih dari yang bisa saya dapatkan ketika membaca buku dengan dasar sampul berwarna putih ini. (27 s.d 31 Oktober 2012)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ORANG-ORANG BLOOMINGTON

Tokoh-tokoh "saya" dalam kumpulan cerpen ini sesungguhnya bukan orang yang jahat. Mereka hanya tidak tahu bagaimana berinteraksi dengan sesama (lingkungannya?).


Setiap cerpen dalam kumpulan cerpen ini menghadirkan tokoh "saya" dengan pribadi yang kaku, kesepian, pendengki dan pendendam, serta tidak puas dengan pencapaian dalam hidupnya (kosong?). Setiap tokoh saya merupakan simbol dari kesengsaraan, kata Budi Darma. Terkadang, saya sendiri sebagai pembaca merasa setiap tokoh "saya" dalam buku ini merupakan korban dari kejahatan lingkungannya. Uniknya, sering kali pula keadaan menjadi terbalik, tokoh saya menjadi pelaku tindak kejahatan (meski tidak disengaja, seperti ada sesuatu yang mengkondisikan/ memaksa), semisalnya saja dalam cerpen Yorrick di mana saya yang merasa dunia berlaku tidak adil karena dia yang bersikap sopan, memiliki pola hidup yang teratur dan bersih justru tidak bisa diterima oleh orang-orang sekelilingnya bahkan dari Catherine-perempuan yang membuatnya memutuskan pindah ke loteng Ny. Ellison di Jalan Grant-sementara Yorrick yang lebih mirip mayat berjalan dan memiliki kebiasaan yang menjijikkan justru sangat disenangi bahkan oleh Ny Ellison yang pemurung.

Orang-orang Bloomington merupakan buku kumpulan cerpen pertama Budi Darma. Buku ini terdiri dari 7 cerpen yang tidak bisa dikatakan pendek (bila dilihat dari pengertian harfiah cerita pendek). Memang cerpen lebih pendek daripada roman, tapi cerpen yang baik juga mempunya kebulatan seperti yang dimiliki tulisan-tulisan yang baik dalam bentuk sastra yang lain, kata Budi Darma dalam pengantar (Lihat hal. xiv). Semua cerpen dalam buku ini adalah cerpen realis yang (sepertinya) ingin mengolok-olok keidealan konsep modernitas. Penelanjangan sisi psikologi baik dari tokoh saya dan tokoh-tokoh yang menjadi obyek pengamatan tokoh "saya", semuanya bukan tokoh-tokoh yang sehat, justru terpinggirkan oleh lingkungan yang individual dan tidak mau tahu.


Hampir semua cerpen dalam kumpulan cerpen ini menjadi jagoan saya terutama Laki-laki tanpa Nama dan Keluarga M. Laki-laki tanpa nama seperti cerita detektif yang tidak memerlukan kasus besar untuk diselesaikan tapi mampu menyedot dan membuat saya berdecak di akhir cerita. Sementara dalam cerpen Keluarga M, saya sungguh tidak habis pikir bagaimana seseorang menganggap dua orang anak kecil sebagai musuh dan merasa perlu menyusun rencana besar demi membalaskan dendamnya. Dia bahkan sampai menulis surat kepada pengurus apartemen untuk membuat mesin minuman di beberapa tempat demi tercapainya tujuan. Cerpen ini menjungkirbalikkan arti kedewasaan. Ternyata benar, tingkat kedewasaan seseorang tidak bisa diukur melalui jumlah umur. (20 s.d 23 Oktober 2012)
"Mungkin baginya mengharap lebih penting daripada terpenuhinya harapan itu sendiri." (Nyonya Elbehart, hal. 128)

"Memang kadang-kadang saya merasa tidak ada gunanya menentang arus umum, karena tokh saya bukan apa-apa. (Charles Lebourne, hal 157)


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PEREMPUAN REMAJA DALAM CENGKERAMAN MILITER


Dengan hati berat aku tulis surat ini untuk kalian. Belum sepatutnya pada kalian diajukan suatu berita yang mengguncangkan, memilukan, menakutkan, dan menyuramkan. (hal. 3)

Demikian Pramoedya mengawali catatan ini. Catatan yang disusun berdasarkan keterangan teman-teman sepembuangan Pramoedya di Pulau Buru, serta hasil pelacakan mereka terhadap para perempuan remaja yang dijadikan budak seks (jugun ianfu) setelah ditinggalkan di Pulau Buru (ditelantarkan begitu saja, tanpa pesangon, tanpa fasilitas dan terabaikan) segera selepas Jepang menyerah pada tahun 1945.

Mereka, perempuan-perempuan itu diambil secara paksa atau sukarela oleh pemerintah Jepang dari keluarganya dengan janji akan disekolahkan ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Janji itu dihembuskan pertama kali pada tahun 1943 dari kekuasaan tertinggi di Jawa- Pemerintah Bala tentara Pendudukan Dai Nippon. Janji yang tidak pernah dicatat melalui harian atau barang cetakan lain, hanya berupa desas-desus. Propaganda itu ditangani oleh Sendebu dan diteruskan kepada Pangreh Praja, Camat, Lurah, dan perangkat desa dengan konsekuensi mereka harus memberi contoh kepada rakyat yang diperintahnya demi keselamatan jabatan, pangkat, dan keluarga. Dari catatan yang berhasil dikumpulkan, para perawan itu berusia kurang dari 15-17 tahun, berasal dari kota besar, madya, atau kecil, atau dari kampung dan desa yang ada di dalam kawasan kota. Sebagian besar justru merupakan putri dari para pembesar jawa dan pejabat pemerintah lainnya. 

Setelah Jepang kalah dalam perang dunia II pada Agustus 1945, para perawan tersebut ternyata tidak jadi berangkat ke Tokyo atau Shonanto sesuai janji, malah ditempatkan di Tempat Pengepolan di beberapa wilayah.

Catatan ini, menurut saya terdiri atas dua bagian. Awalnya berisi catatan para perawan yang pernah ditemui para nara sumber, seperti nama keluarga dan asal daerah. Bagian kedua, cerita mengenai pengalaman nara sumber ketika menjejak keberadaan para perempuan tersebut, salah satunya adalah Bu Mulyati, perempuan asal Klaten.

Di bagian ini saya mengalami sedikit kesulitan (mungkin bisa disebut kebosanan) dalam membacanya. Sejak awal, saya mulai terbiasa dan ingin tahu lebih banyak akan catatan tentang para korban kejahatan perang tersebut (masih dengan hati geram dan ngilu). Tetapi di bagian kedua ini, saya merasa seolah-olah sedang membaca fiksi. Cerita yang disusun Pram sendiri tidak bisa dikatakan tidak bagus, justru menurut saya sangat menyentuh dengan narasi yang indah. Pembaca diajak untuk mengenal dan bersinggungan dengan kehidupan penduduk Alfuru yang masih sangat primitif dan memiliki pola hidup nomaden lewat sudut pandang saksi, salah satunya Sarony, yang merupakan buangan dari Jawa. Pengalaman Sarony tidak mudah dan penuh bahaya. Hati saya ngilu, bukan saja karena catatan penemuan tentang para perempuan terbuang tersebut, tapi juga akan kehidupan para suku yang belum tersentuh oleh peradaban. Entah mengapa, di bagian ini saya merasa kehilangan esensi secara keseluruhan dari catatan ini.

Buku ini mengingatkan para remaja masa depan tentang suatu peristiwa kelam yang tidak tercatat dalam arsip sejarah. Peristiwa yang sampai sekarang masih menjadi bahasan beberapa lembaga kemanusiaan dunia dan pembela hak perempuan dunia. (16-20 OKT 2012)



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

NEGERI PARA PERI


Ekpetasi saya terhadap buku ini sangat besar mengingat betapa sulit menemukannya. Semula saya berniat memberi bintang 3,5, tapi karena tidak ada jadi saya membulatkan ke atas (untuk membulatkan ke bawah, saya tidak tega) dengan pertimbangan sampul buku yang sederhana tapi menarik, dan untuk beberapa cerpen yang memberi kesan dalam begitu selesai membacanya.

Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerita berjudul Ayah. Judul tersebut telah bercerita banyak hal (mungkin keseluruhan cerita ini), jadi saya tidak terlalu terkejut dengan isi bahkan twisted ending sama sekali tidak membantu. Pengalaman serupa saya rasakan ketika membaca Perempuan. Cerita ini malah lebih memualkan karena terlalu terkesan sangat gombal dan mendayu-dayu.

Namun ada beberapa cerpen yang menjadi jagoan saya, salah satu di antaranya Ambang. Tema cerita tidak istimewa sebenarnya, tentang cinta dua orang yang tidak bertaut dan memilih berpisah dengan alasan masing-masing, lalu muncul orang ketiga di antara mereka. Tetapi Avianti memberi kesan mendalam dan menyajikan narasi yang sangat bagus #tarik napas dulu#, bikin sesak, kata saya, kalo mau sedikit berlebihan (hahaha).

Aku mencintaimu. Dan itu ternyata menyakitkan. Kamu tidak tahu betapa setiap kali kamu berpaling, aku sangat menderita. Aku seperti orang yang sedang menoreh nadi dan meneteskan darah perlahan-lahan. Semakin lama aku jadi semakin lemah hingga darah habis terkuras. Karena itu aku pergi. Aku harus menjauh darimu. (hal. 44)
P : Apa yang terjadi bila dua orang saling mencintai tapi tak sanggup bersamaL : Seperti yang kita lakukan berpisahP : Apakah itu lebih baikL : Tidak. Sama menderitanya. Tapi kita harus memilihP : Aneh. Kita saling mencintai, tapi tak sanggup hidup bersama. Sementara, aku bisa hidupbegitu lama- bertahun-tahuan, puluhan tahun - dengan orang yang tidak aku cintai. (hal. 45).

Selain Ambang, saya juga menjagokan cerpen Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian. Saya sudah mengenal cerpen tersebut lebih dulu sebelum membaca kumpulan cerpen ini. Dan saya mengamini bila cerpen ini terpilih menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas. Detailnya sangat kelam dan menyentuh. Saya bisa merasa kengerian yang muncul saat membaca, Mungkin ia cuma ingin tahu, apa jadinya jika dicekik kuat-kuat (hal. 18). Saya dapat membayangkan keterguncangan seorang anak akibat menyaksikan dan mendengar pertengkaran hebat kedua orang tuanya. Kengerian yang sama, saya rasakan juga di cerpen Aku Telah Mengenal Dia. Emosi saya tumpah ruah di dua cerpen ini.

Hampir seluruh cerpen dalam kumpulan cerpen ini terasa gelap dan suram dengan narasi yang sangat puitis. Bukan buku yang ringan, dan bisa dibaca sambil lalu. Wajar bila saya mesti beberapa kali berhenti (mengambil jeda) sebelum membaca cerpen yang lain. Setiap cerpen memberi pengalaman yang berbeda-beda. Seperti saya yang teramat membenci cerpen Cahaya (lebih dari cerpen-cerpen yang lain). Menjijikkan, kata saya, dan tidak terpikirkan untuk membaca ke dua kali. Tapi ada pula cerpen Kabut yang menyedot saya dengan narasinya yang terkesan lambat tapi memikat meski tema yang diangkat sangat biasa. Sementara cerpen yang menjadi tajuk kumpulan cerpen ini, Negeri Para Peri, sepertinya akan masih menjadi pekerjaan rumah yang tak mudah untuk  saya selesaikan.

Membaca cerpen Tak Ada yang Lebih Tepat Berada di Sini Selain Kamu, saya teringat novel Massage in the bottle. Tema yang biasa, tapi Avianti tidak membiarkan saya merasa santai dengan tidak meninggalkan kesan apa-apa begitu selesai membacanya. Saya dipaksa merenung. Apa yang kamu perbuat ketika kamu merasa telah mempunyai segalanya dalam hidup tapi ternyata kamu salah? Ada yang kosong. Mimpi yang tidak kamu kenal telah menguntitmu bertahun-tahun.

"Aku tidak mengenalnya, meski dia telah ada sejak aku ada. Memanggil-manggil dari ruang-ruang yang intim. Dia menunggu di satu tempat, satu waktu, entah di mana, hadil dalam imaji-imaji dan mimpi kanak-kanak yang tak pernah mati." (hal 88)
Masih ada beberapa cerpen yang juga menghadirkan pengalaman suram dan kelam yang berbeda-beda. Ada Champagne, Mata, 69, 90, dan 77 di antaranya, Pangeran Kecil, Pesta, Suara itu, Sebelum Kamu Mengatakan Tidak dan Pelajaran Terbang. Getir.

Well, baiklah. Memang tidak adil rasanya membulatkan ke bawah menjadi tiga bintang, karena kumpulan cerpen ini berhasil membuat saya tidak tenang sehabis membacanya. Meski saya sebenarnya tidak terlalu nyaman dengan gaya bercerita yang puitis seperti yang ditawarkan Avianti ini. (1 Okt-10Okt 2012)



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ANNA KARENINA


Judul          : Anna Karenina (Part 1 dan 2)
Penulis       : Leo Tolstoi
Penerbit     : Kepustakaan Populer Gramedia (2007)


Konflik yang ditawarkan novel ini sebenarnya tidak terlalu menarik. Kisah cinta segitiga antara Anna, Vronskii dan suaminya, Karenin. Novel ini bercerita tentang seorang istri, Anna Karenina yang mencederai pernikahannya. Dia menjalin hubungan dengan seorang opsir muda yang ditemuinya pertama kali di stasiun kereta ketika akan mendamaikan kehidupan rumah tangga saudara laki-lakinya yang diambang kehancuran. Meski diceritakan Aleksei Aleksandrovich adalah suami Anna, namun Anna justru menganggap suami yang mesti dicintai dan dilayaninya adalah Aleksei Vronskii. Terdengar biasa? Memang sudah banyak yang menulis tema tersebut, dan tentu saja dengan banyak versi. Tapi Tolstoi memberi sentuhan lain, yang membuat novel ini sangat menarik.

Cerita ini berlatar kehidupan sosial masyarakat Rusia pada masa peralihan sesudah dihapuskannya sistem perhambaan tahun 1861. Melalui tokoh Levin, penulis menguraikan kekecewaannya terhadap kemerosotan rohani dan jasmani para kaum bangsawan, eksploitasi dan penderitaan para petani yang kian memuncak.

Kelebihan novel ini terletak pada ketelitian penggambaran dunia batin masing-masing tokoh, sehingga pembaca mengenal baik setiap tokoh yang muncul dalam cerita, bahkan untuk tokoh yang hanya sekali disebutkan. Alih-alih mencela perbuatan buruk salah satu tokoh, pembaca malah turut bersimpati dan ikut merasakan kegusaran yang sedang dialami. Setiap tokoh digambarkan sangat manusiawi. Tidak ada yang benar-benar hitam, dan tidak ada yang benar-benar putih.

Mungkin yang menjadi kesulitan bagi pembaca (terutama bagi saya) adalah setiap penamaan tokoh yang rumit, dan setiap tokoh memiliki dua nama bahkan lebih. Tak jarang saya mengira penulis sedang menceritakan dua tokoh yang berbeda (padahal itu hanya satu tokoh), semisal penyebutan nama tokoh oblonskii ketika berdialog berbeda dengan narasi. Selain itu penamaan setiap tokoh dalam novel ini nyaris sama, sehingga sulit sekali membedakan antara tokoh yang satu dengan yg lain. (16 Agustus-28 September 2012)



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

JOSEPHINE


JUDUL          : JOSEPHINE
PENULIS      : MARIA GRIPE
PENERBIT   : BP GUNUNG MULIA


Maria gripe sangat cerdas, kata saya begitu selesai membaca buku ini. Dia bisa membayangkan dunia anak-anak dan menceritakan apa-apa yang ada dalam kepala seorang Josefine yang lugu dan “unik”. Baiklah, saya akui setiap orang pernah mengalami masa itu, tapi jujur, sampai sekarang, saya bahkan tidak bisa ingat, hal-hal konyol apa yg sudah saya pikirkan dan lakukan saat masik kanak-kanak dulu.

Namanya, Anna Gra, tapi dia merasa nama itu belum tepat dipakai sekarang, jadi dia memutuskan untuk menaruh nama itu dalam kotak sepatu dan membukanya nanti bila dia telah cukup besar untuk memakainya. Dia merasa semua orang dewasa itu tidak sopan dan kejam kepadanya. Mereka selalu memarahinya padahal dia tidak pernah berniat jahat bahkan kepada Agnetta sekalipun, dan juga Erik meski dia tidak menyukai laki-laki itu. Itu sebabnya dia tidak jadi memberikan kupu-kupu yang dibuatnya dari cadar pengantin Agnetta, karena kakaknya itu terus menangis dan meneriakinya dengan sangat marah. Orang dewasa memang bodoh, begitu pikirnya.

Dunia anak-anak yang penuh imajinasi dan misteri diceritakan Maria Gripe dengan sangat menarik. Ada pula konsep pencipta yang disebut Allah Tua, bintik-bintik hujan dan surga bumi, dan konsep tentang sungai malaikat yang suka mengubah anak-anak baik menjadi malaikat. Saya jadi teringat, cerita takhayul yang sering dipakai orang tua untuk memperingati bahkan menakut-nakuti anak kecil, seperti cerita tentang sungai malaikat itu. Apakah cara tersebut berdampak positif terhadap psikologi seorang anak? Dalam buku ini diceritakan dengan sangat baik, membuat saya tidak berhenti tersenyum.


Saya beri poin penuh, untuk kelucuannya, untuk tingkah-tingkah konyolnya, dan untuk percakapan-percakapan yang menggugah. (selesai baca 20 September 2012)


“Sejak dia menerima si gendut dia mulai tahu, walaupun dia tidak bisa menerangkan alasannya, bahwa tidak menyenangi sesuatu yang sempurna itu adalah wajar. (hal. 108) 
“Orang kadang-kadang ingin membayangkan,” kata Ayah-Bapa. “Dan karena orang senang membayangkan Allah sebagai orang tua yang bijaksana, maka mereka buatlah gambar orang seperti itu.” (hal. 129)
“Nah, inilah sedihnya. Orang yang saling memberi hadiah belum tentu akur satu sama lain. Lebih baik saling memberi kebaikan dan kegembiraan. Kita berdua selalu melakukan hal itu. Dan kita tidak membutuhkan hadiah, kan?Josefin mengangguk dan merangkulnya kuat-kuat.“Kurasa kita memang akur sekali,”bisiknya.“Kemudian dia terdiam sebentar, lalu katanya:“Apakah ini berarti bahwa kita tidak akan saling memberi hadiah sama sekali?”“Oh,” Ayah-Bapa tertawa. “Tentu saja kita akan saling bertukar hadiah. Tapi hanya hadiah-hadiah yang masuk di akal saja. Sebab, lama-lama, kalau kita mendapatkan semua yang kita inginkan, tidak lucu juga.” (Hal, 132)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PEREMPUAN, RUMAH KENANGAN


JUDUL           : PEREMPUAN, RUMAH KENANGAN
PENULIS      : M AAN MANSYUR
PENERBIT   : INSIST PRESS (2007)
TEBAL           : 186 halaman

Apakah buku ini sebuah fiksi? Atau sekadar otobiografi si penulis? Saya pikir kedua-duanya. Dengan bab pembuka yang berjudul "Suatu Pagi di Tahun 2022" dan bab penutup yang diberi judul "Suatu Senja di Tahun 2022", pembaca tahu bahwa buku ini hanya sebuah fiksi. Tapi si penulis mengakui dalam pengantar bahwa novel ini merupakan bayaran atas kesalahannya yang selalu malas pulang, menjenguk kampung dan masa lalunya. Buku ini berkisah tentang masa kecil Aan di antara perempuan-perempuan di sekelilingnya.

Aku adalah lelaki berdada perempuan. Itu tulisnya. Sangat terasa memang. Membaca novel ini, saya membayangkan sosok lelaki berhati lembut dan sangat sensitif. Narasinya begitu liris, terkesan datar, dan seperti tidak ada gejolak. Dia hanya menuturkan masa lalu seperti seseorang yang menceritakan kembali cerita yang sudah dihapalnya luar kepala. Berkali-kali. Apakah saya bosan? Sebaliknya, saya terhanyut,  seakan ikut merasakan pengalaman-pengalamannya. Seperti otobiografi lainnya, lewat novel ini, sedikit demi sedikit saya mulai mengenal dunia si penulis. Saya jadi tahu bahwa sejak kecil dia mencintai hujan, gadis kecil yang diceritakan sang nenek selalu bersedih. Dia menyukai warna biru, termasuk hal yang paling disukainya dalam hidup adalah buku, puisi dan perempuan.

Ada yang menggelitik dari novel ini. Aan mengajukan suatu pertanyaan yang tidak biasa. Saya sampai berpikir, mungkin saja dia seorang feminis berwujud laki-laki.

Sejak saat itu aku tumbuh dengan pikiran yang menyimpang. Tuhan pasti seorang perempuan. Laki-laki tak bisa dipercaya. Laki-laki tak bisa apa-apa. Laki-laki tak bertanggung jawab. Lihatlah, aku hanya bisa makan-minum, sekolah, tidur, menulis, dan tak bisa membantu ibu. Lihatlah, Ayah pergi dan tak pernah punya rasa rindu pada istri dan anaknya. Lihatlah, Kakek suka menikahi perempuan-perempuan lalu meninggalkannya seperti sampah. Apa yang bisa dilakukan oleh laki-laki? Apa? Tak ada kecuali hal-hal bajingan. Apa maksudmu melahirkan aku sebagai lelaki, Tuhan? (hal.62)

Novel ini tentang kenangan. Kenangan-kenangan yang disusun dan menjadi rumah yang nyaman untuk dihuni seorang Aan selama sisa hidupnya. Di sana, kadang kala dia menziarahi kembali kenangan itu tanpa berusaha melupakannya. Seperti katanya,


Aku takkan pernah mau mencoba menipu kenangan dengan melupakannya, sebab kenangan punya banyak cara untuk menjerat lalu membunuh kita (hal.4)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SIHIR PEREMPUAN

JUDUL          : SIHIR PEREMPUAN
PENULIS      : INTAN PARAMADITHA
PENERBIT   : KATAKITA (2005)
TEBAL           : 150 halaman


Benar kata teman saya, setelah membaca kumpulan cerpen ini saya merasa, menjadi seorang perempuan itu melelahkan. Kamu bisa membuktikannya dengan menilik satu per satu cerita dalam buku ini. Sihir Perempuan bercerita tentang seputar perempuan dalam setiap cerpennya. Tema yang biasa sebenarnya. Sudah banyak penulis yang mengangkat tema tentang perempuan, mulai dari kisah perempuan yang tertindas, perempuan yang menjadi korban, perempuan yang selalu kalah dan mengalah, dsb. Tapi di sini Intan bukan bercerita tentang hal itu. Dia menghadirkan perempuan dengan sisi-sisi tergelapnya. Semisal perempuan yang kuat berpura-pura selama hidupnya, seperti yang diceritakan Intan dalam Pemintal Kegelapan dan Mobil Jenazah, atau tentang perempuan rapuh dan mudah pecah seperti dalam cerpen Sejak Porselen Berpipih Merah itu Pecah.

Cerpen yang menjadi jagoan saya tentu saja Perempuan Buta tanpa Ibu Jari. Intan memelintir dongeng yang dulu terlihat sangat cantik di mata kanak-kanak saya, Cinderella. Saya pun sempat hidup dalam dongeng itu, bermimpi menjadi sama beruntungnya dengan Cinderella, kelak dipinang lelaki yang melabeli dirinya sebagai pangeran dan hidup berbahagia selamanya. Di negeri kita sendiri, ada dongeng serupa dengan versi yang sedikit berbeda, seperti bawang merah dan bawang putih. Ah, mengapa anak-anak dijejali cerita yang tak masuk akal seperti itu padahal kenyataan hidup tidak pernah sesempurna itu.

Saya juga menyukai cerpen Sang Ratu. Di cerpen ini Intan menyatakan bahwa perempuan biasa yang mungkin terkesan membosankan seperti dewi ternyata titisan Ratu Pantai Selatan yang menunggang perempuan berwujud kalajengking besar dan melakukan pembalasan pada Herjuno. Jadi berhati-hatilah, tak semua yang terlihat mata serupa dengan yang sesungguhnya.


Untuk cerita saya beri nilai 3,5 bintang. Dan untuk sensasi kengerian yang saya dapat selama membaca kumpulan cerpen ini, maka saya membulatkan ke atas.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MOMO

JUDUL           : MOMO
PENULIS      : MICHAEL ENDE
PENERBIT   : GRAMEDIA (2004)
TEBAL           : 320 halaman

Momo adalah nama seorang anak kecil yang menjadi tokoh utama sekaligus menjadi judul dari buku ini. Momo hanya anak yatim piatu biasa yang tinggal sendirian di sebuah reruntuhan. Kelebihannya adalah mendengarkan. Kelebihan yang sangat biasa sebenarnya tapi justru sangat sulit ditemukan pada saat ini.

Momo dengan matanya yang hitam dan besar menatap lawan bicara saat mendengarkan. Semua hal yang didengarnya dianggap penting. Dia mendengarkan dengan sorot mata yang jernih dan tulus, meski untuk keluhan-keluhan biasa atau pertengkaran-pertengkaran sepele. Dia mendengarkan bukan sambil melakukan hal-hal lain, semisal menggigit kuku, membolak-balik halaman buku, menonton televisi, atau bermain dengan sebuah benda yang kebetulan berada dalam tangannya. Dia mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Setelah mendengarkan, dia tidak mengatakan sepatah kata untuk menghakimi apalagi memberi nasihat yang dia pikir bijak. Terkadang memang bukan nasihat atau tanggapan yang diperlukan, hanya kesediaan untuk mendengar. Dan di saat ini, justru hal itu sangat sulit ditemukan bahkan dari orang-orang terdekat kita sekalipun.


Novel yang ditulis Michael Ende ini berkisah tentang petualangan anak kecil bernama Momo. Dia mesti menyelesaikan misi demi menyelamatkan manusia dari kejahatan tuan kelabu. Ah, saat membaca ini, tiba-tiba saya teringat akan keluhan saya. Selama ini saya selalu merasa kekurangan waktu. Dua puluh empat jam selalu tidak cukup untuk segudang rutinitas yang sebenarnya itu-itu saja (tapi entah mengapa tidak pernah bisa saya selesaikan). Lantas ketakutan melintas dalam kepala saya, jangan-jangan tuan kelabu-yang berkendara mobil mewah, menggunakan jas kelabu, berkepala botak dengan topi yang juga kelabu, tak lupa menghisap cerutu yang selalu menghembuskan hawa dingin-telah mengunjungi saya pada suatu malam, lalu menunjukkan hitung-hitungan yang sangat masuk akal dan mempengaruhi saya untuk mau ikut berinvestasi dengan menabung waktu pada mereka.

Mungkin juga, hal ini tidak hanya terjadi dengan diri saya sendiri, tapi juga pada banyak orang di luar sana. Terbukti semakin banyaknya keluhan-keluhan serupa yang terdengar. Sama seperti saya, mereka juga merasa selalu kekurangan waktu. Haduh! Lalu muncul satu pertanyaan, apakah ada seorang anak perempuan kecil dengan jas bertambal yang kebesaran dan memiliki sepasang mata bulat berwarna hitam jernih yang menggendong seekor kura-kura yang bisa membantu saya dan banyak orang untuk mengembalikan waktu-waktu yang sebenarnya tidak pernah hilang?

Cerita ini begitu terkenal, sudah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa. Saya beri 3 bintang untuk buku ini. Bacaan yang bagus sebenarnya, cocok untuk anak-anak dan juga perlu dibaca oleh orang dewasa, tapi mungkin it's not my cup of tea. Saya merasa kebosanan di bagian narasi tentang istana pengelola waktu dan detail dunia fantasi lainnya. Baiklah, saya mengaku, saya memang sedikit kesulitan dengan bacaan fantasi seperti ini. Selesai baca 22 Juli 2012.
"Suatu hari kita mendadak enggan melakukan apa-apa. Kita dihinggapi rasa jemu. Tapi perasaan itu tidak hilang-hilang, malah bertambah parah. Dari hari ke hari dan minggu ke minggu terus saja bertambah parah. Kita akan merasa semakin murung, semakin kosong, semakin tidak puas dengan diri kita sendiri dan dengan dunia. Berangsur-angsur perasaan itu pun tak terasa lagi, dan kita tidak merasakan apa pun. Kita menjadi masa bodoh dan kelabu, seluruh dunia terkesan asing dan tidak penting. Tak ada lagi perasaan marah atau senang. Kita tidak lagi bisa merasa gembira maupun sedih. Kita lupa cara tertawa dan menangis, Lalu hati kita menjadi dingin, dan kita tidak lagi mampu menyayangi siapa pun. Kalau sudah sampai tahap itu, maka sudah terlambat. Kita tidak bisa disembuhkan lagi. Kita bergegas kian kemari dengan pandangan kosong dan wajah kelabu, seperti para tuan kelabu. Ya, kalau sudah begitu, kita menjadi salah satu dari mereka. Penyakit itu bernama: KEBOSANAN YANG MEMATIKAN."


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

V FOR VENDETTA

JUDUL          : V FOR VENDETTA
PENULIS      : ALAN MOORE, DAVID LLYOD (ILUSTRATOR)
PENERBIT   : GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA (2007)
TEBAL           : 301 halaman


House of Parliamet yang menjadi simbol pemerintah Inggris diledakkan oleh orang tak dikenal berinisial v yang memakai topeng ala Guy Fawkes, disusul peristiwa munculnya kembang api yang menimbulkan keresahan di seluruh pelosok kota London. Peristiwa tersebut terjadi pada malam hari tanggal 5 Nopember 1997.

Malam itu juga V menyelamatkan seorang gadis dari jebakan intel polisi ketika melacur. V membunuh beberapa intel polisi tersebut dan membawa 
Evey Hammond ke kediamannya yang disebut Galeri Bayangan.

Teror berlanjut. Lewis Prothero, tokoh politik sekaligus penyiar suara takdir (radio propaganda pemerintah inggris) diculik dan ditempatkan di suatu lokasi yang 
mirip dengan Kamp Larkhill,  kamp konsentrasi untuk tahanan dan orang-orang yang menentang pemerintah. Prothero yang pernah menjadi kepala Kamp Larkhill itu disiksa hingga menjadi gila.


Teror lainnya adalah penghancuran patung Madam Justice (simbol keadilan) lalu pembunuhan beberapa tokoh penting yang disinyalir berkaitan dengan Kamp Larkhill, seperti Uskup Lilliman (ini adalah pemuka agama 
cabul yang menyukai perempuan-perempuan muda), dokter wanita, Delia Surridge. Kedua korban tersebut pernah bertugas di Kamp Larkhill.


Menurut desas-desus, Di kamp tersebut pernah dilakukan eksperimen medis yang dipimpin oleh dr. Delia dengan menggunakan para tawanan sebagai media percobaan. Hampir semua tawanan yang menjadi bahan eksperimen mengalami kematian, hanya satu yang mampu bertahan hidup dan berhasil kabur setelah meledakkan selnya sendiri. Tawanan tersebut menempati sel nomor lima yang ditulis dengan angka romawi.


Novel grafis ini merupakan karya Alan Moore & David Llyod, digarap tahun 1981 dan selesai tahun 1988, dengan menggunakan latar kota London pada tahun 1997 setelah terjadinya perang nuklir. Novel ini terbagi atas tiga bab, Eropa Setelah..., Kabaret yang Kejam, dan Negeri Sesuka Hati.


Sangat melelahkan membaca novel ini. Bahkan sampai di halaman terakhir, rasa penasaran saya tentang siapa sebenarnya "v" tidak juga terjawab. Sepertinya memang tidak penting untuk tahu siapa V dan alasan yang paling pribadi untuk membunuh satu per satu tokoh-tokoh yang pernah terlibat dengan kamp relokasi Larkhill selain karena dia merupakan salah satu tahanan yang berhasil lolos setelah meledakkan kamar no V. Ini bukan novel misteri yang akan memunculkan jawaban  dari setiap teka-teki di bagian terakhir. Hal yang ingin disampaikan Moore dalam novel ini adalah paham tentang tidak baiknya suatu negara hanya dikendalikan oleh satu orang atau kelompok saja. Penulis melalui tokoh V beranggapan bahwa tatanan pemerintahan yang ideal di masa mendatang adalah masyarakat yang bebas dan demokratis. Dan untuk mewujudkannya perlu dilakukan dekonstruksi pemerintahan yang ada. Setelah itu masyarakat akan belajar mengatur diri sendiri, tanpa menunggu instruksi dari pimpinan atau pihak mana pun.


3 bintang untuk Alan Moore dan ide ceritanya. Setengah bintang untuk penerbit karena mengemas novel ini sesuai dengan versi aslinya dengan kualitas kertas dan warna ilustrasi yang bagus. Meski ada beberapa kata yang tidak diterjemahkan ke bahasa Indonesia, hal tersebut sama sekali tidak mengganggu. Hasil terjemahannya lumayan dimengerti. Jadi saya beri setengah bintang lagi untuk penterjemah. Total 4 bintang. selesai baca  : 31 juli 2012





PS: Teman saya telah memberika copy filmnya, namun sepertinya saya belum "berani" menontonnya. Ini salah satu kejelekan saya yang lain, tidak mau imajinasi cerita yang saya bangun dalam kepala saya rusak karena visualisasi yang jauh dari kata sama dengan teksnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

DUNIA ANAK-ANAK MAMAK YANG AJAIB

"Jangan pernah membenci Mamak kau, Eliana. Karena kalau kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang Ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian"

Tidak banyak buku berseri yang pernah saya baca, bahkan tidak lebih dari jumlah sepuluh jari saya. Sebut saja tetralogi Laskar Pelangi, Serial Anak-anak Mamak, The Bartimeus Trilogy, dan yang paling terakhir dan masih dalam proses pembacaan (yang entah kapan akan selesai) yaitu tetralogi pulau buru. Sebenarnya saya ingin berbagi mengenai tetralogi Pula Buru, tapi sepertinya terlalu riskan untuk mengulas buku yang fenomenal itu. Selain karena belum tuntas membaca, saya merasa kapasitas saya belum memadai untuk mengulas sampai saat ini saya tidak lebih dari seorang penikmat (yang jarang merenung lebih dalam untuk menangkap esensi dari suatau bacaan). 

Kali saya akan mengulas tentang buku seri karya Tere-Liye yang berjudul Serial Anak-anak Mamak, yang lagi-lagi saya belum menuntaskan buku yang terakhir, berjudul Amelia (yang belum terbit hingga saat ini) yang merupakan pembuka sekaligus penutup serial ini. 

Nur atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mamak memiliki empat orang anak yang luar biasa. dengan karakter dan kelebihan yang berbeda-beda. Ada Burlian si anak special, Pukat si serba tahu atau brilian, Eliana si anak pemberani dan Amelia yang merupakan bungsu dari ke empat bersaudara tersebut.


Apa yang membedakan buku ini dari serial-serial lainnya atau dari buku lain yang mengangkat tema serupa?

Salah satunya mungkin adalah kesederhanaan dalam bercerita. Tere Liye begitu lihai menggambarkan makna dunia di mata anak-anak, Tentu saja tidak mudah menyelami pemikiran masing-masing tokoh dalam novel yang berbeda baik dari watak maupun usia. Tentu tidak mudah untuk dapat menyelami pemikiran seorang anak laki-laki yang serba ingin tahu, menguraikan pengalaman luar biasa seorang Pukat yang seumur hidupnya dipenuhi dengan teka-teki pemberian Wak Yati, menceritakan sisi feminisme dari seorang Eliana yang pemberani, atau pun menggambarkan kepolosan seorang Amelia yang selalu bertanya. Selain itu dunia yang diceritakan Tere Liye dalam novel ini tidak serba “mewah” atau berlebihan sehingga tidak bisa dijangkau khayalan pembaca seperti yang sering kita temukan dalam novel-novel lainnya. Cara bercerita Tere Liye yang sederhana itu berhasil mengajak pembaca bertualang menuju salah satu perkampungan kecil di Sumatera Selatan. 
Sayangnya, di beberapa bagian, ada cerita yang tidak masuk akal. Terlalu banyak kebetulan-kebetulan yang sering kita temukan dalam layar kaca. Bahkan ada scene yang menggambarkan karakter “super hero” dadakan, seolah-olah tanpa sang tokoh, maka persoalan yang terjadi tidak akan selesai. Seperti Burlian yang selamat ketika hampir di makan buaya, tertimpa gedung sekolah yang ambruk yang menyebabkannya masuk IGD dan akhirnya bertemu dengan bapak menteri yang bersedia memenuhi segala permintaannya (termasuk mengangkat pak Bin menjadi PNS), atau berhadapan dengan buronan yang lepas dari tahanan. Suatu kebetulan yang klise.

Tapi terlepas dari kesemua itu, serial ini sangat layak baca, menarik dan tentu saja menghibur. Buku ini sebagai bentuk bacaan yang memadai bagi anak-anak yang "kenyang" dicekoki dengan novel-novel percintaan yang tidak masuk akal dansama sekali tidak mendidik.

Catatan Kecil:
Selain menikmati dunia kanak-kanak yang mempesona dan ajaib, saya juga menemukan banyak petuah-petuah yang bersifat tidak menggurui. Melalui pengalaman-pengalaman dari masing-masing tokoh kita bisa memetik hikmah. Namun inti dari keempat serial ini adalah betapa kasih Ibu itu tidak terbatas (seperti quota pembuka di atas". Sosok perempuan yang mampu melakukan banyak hal demi anak-anaknya. Itu tergambar jelas, ketika mamak rela tersengat tawon demi menyelamatkan Burlian kecil ketika berada di Ladang, atau ketika mamak rela bolak-balik dari rumah hanya untuk mengetahui kalau Eliana tidak kurang suatu apapun saat memutuskan keluar dari Rumah, tiap malam, saat Eliana tertidur. Dan buku ini berhasil membuat saya bersyukur akan keberadaan seorang ibu.

Kutipan-kutipan menarik: 
Pertanyaan akan memicu penemuan hebat, pemikiran masyur bahkan permulaan yang agung. Sementara jawaban terkadang malah mengakhiri sebuah petualangan yang seru
"Tetapi apapun yang terjadi, kita sudah melaksanakan proses dengan baik. Sekarang tinggal menunggu dan berharap. Selalulah meminta pertolongan dengan dua hal itu. Menunggu berarti sabar, berharap berarti doa."
"Terkadang kita membutuhkan melihat langsung untuk mengerti hakikat kasih sayang"
"Jika kalian tidak bisa ikut golongan memperbaiki, janganlah ikut golongan yang merusak. Jika kalian tidak bisa berdiri di depan menyerukan kebaikan maka berdirilah di belakang. Dukung orang-orang yang mengajak pada kebaikan dengan segala keterbatasan"

Buku empat
Buku Tiga

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Pengharapan tidak pernah Mengecewakan. Tetap Semangat!